Sampai Kapan PSSI Patahkan Hati Pelatih Asing Timnas Indonesia?
BolaSkor.com - Bagai petir di siang bolong, demikian gambaran yang tepat ketika mengetahui PSSI tidak memperpanjang kontrak Luis Milla. Bagaimana tidak, Milla merupakan sosok di balik kemajuan Timnas Indonesia.
Sekitar 1,5 tahun, waktu yang dibutuhkan oleh Luis Milla mencuri hati para pencinta sepak bola Indonesia. Dalam rentang waktu yang sebentar itu, Milla terbukti mampu mengubah gaya bermain Timnas Indonesia.
Sejak ditangani Luis Milla, permainan Timnas Indonesia memang lebih enak untuk disaksikan. Gaya bermain yang diterapkan eks penggawa Barcelona dan Real Madrid itu memang cocok untuk para pemain Indonesia.
Jenius, kata itu yang terucap ketika menyaksikan Timnas Indonesia asuhan Luis Milla. Tentunya kalimat itu tidak berlebihan menilik CV Milla sebelum datang ke Indonesia.
Ketika masih menangani tim kelompok umur Spanyol, Luis Milla menorehkan catatan cukup bagus. Saat itu, Milla mencium sejumlah bakat muda Spanyol seperti David De Gea, Isco, dan Koke.
Datang ke Indonesia yang tentunya tidak punya talenta melimpah seperti Spanyol, Luis Milla memiliki pendekatan berbeda. Pelatih berusia 52 tahun itu sadar, Indonesia memiliki banyak pemain berbakat, tetapi tidak terasah dengan baik.

Sejak awal, Luis Milla langsung menonjolkan ciri khas pemain Indonesia. Milla tidak menerapkan strategi sepak bola yang njelimet. Menyerang lewat sayap, lalu mengirimkan umpan silang, gaya yang akrab dengan Timnas Indonesia. Bedanya, kali ini lebih rapi dan cantik.
Perlahan tapi pasti, Luis Milla mengubah gaya bertanding Timnas Indonesia. Hingga titik ini, Milla telah memperbaiki cara bermain para penggawa skuat Garuda, meski sayangnya belum membuahkan prestasi.
Terlihat paling jelas, pada era Luis Milla, tidak ada anak emas di Timnas Indonesia. Bahkan, pemain sekelas Evan Dimas atau Hansamu Yama sempat tersingkir dari Skuat Garuda.
Hasilnya, para pemain pun lebih terpacu untuk tampil lebih baik demi mengenakan seragam Merah-Putih. Lagi-lagi perlahan Luis Milla membenahi masalah sindrom pemain bintang yang kerap menerpa para penggawa Timnas Indonesia.
Luis Milla telah menyadari kelemahan sepak bola Indonesia sejak kali pertama datang. Di Indonesia, tidak ada kurikulum untuk mendidik para pesepak bola muda.
Hal itu berbeda dengan di Eropa. Sebagai lulusan akademi sepak bola Barcelona dan pernah melatih timnas kelompok umur Spanyol, Luis Milla tahu benar apa yang salah dengan pembinaan sepak bola di Indonesia.
Berbeda dengan Barcelona yang mengajarkan kurikulum yang sama secara berkesinambungan, Indonesia tiap daerah memiliki cara mengajar sepak bola berbeda. Luis Milla pun merancang proses pembinaan sepak bola Indonesia.

Sayangnya, proses pembinaan pemain Indonesia yang telah dirancang oleh Luis Milla harus berhenti pada akhir 2018. PSSI selaku induk sepak bola di Indonesia memilih untuk tidak memperpanjang kontraknya.
Berbagai kabar beredar mengenai alasan PSSI tidak memperpanjang kontrak Luis Milla. Mulai dari gaji yang terlampau tinggi hingga absennya Milla pada negosiasi kontrak mengemuka sebagai alasan.
Menurut berbagai sumber, gaji Luis Milla memang paling mahal di Asia Tenggara. Konon, eks penggawa Valencia itu menerima bayaran Rp 2,4 miliar per bulan di luar fasilitas.
Akan tetapi, rasanya jumlah gaji itu sepadan untuk kualitas yang ditawarkan oleh Luis Milla. Berdasarkan obrolan dengan mantan rekan satu tim Milla di Valencia, Gaizka Mendieta, Timnas Indonesia beruntung dilatih lulusan akademi sepak bola Barcelona tersebut.
"Luis Milla adalah sosok yang cerdas, hal itu terlihat sejak dia masih menjadi pemain. Menurut saya, Indonesia bisa sukses apabila ditangani oleh Milla," ujar Mendieta ketika menyambangi Indonesia pada akhir 2017.
Sejatinya, apa yang dialami oleh Luis Milla mirip dengan pelatih legendaris Belanda, Wiel Coerver. Saat itu, Coerver yang menangani Timnas Indonesia pada 1975 hingga 1976 mengalami nasib serupa.
Seperti Luis Milla, Wiel Coerver datang ke Indonesia dengan misi membangun sepak bola yang kuat. Ketika mendatangkan Coerver, PSSI memang berniat membangun sepak bola berkualitas di Indonesia.
Sayangnya, Wiel Coerver hanya satu tahun menangani Timnas Indonesia. Seperti Luis Milla, PSSI memilih tidak memperpanjang kontrak pelatih asal Belanda itu.
Ketua PSSI kala itu, Bardosono, tidak suka dengan Wiel Coerver yang mengajarkan profesionalisme kepada para pemain. Padahal, Coerver merevolusi gaya bermain Timnas Indonesia.

Akibatnya, segala kesalahan Wiel Coerver pun dimanfaatkan oleh PSSI untuk melengserkannya. Puncaknya, ketika Timnas Indonesia gagal lolos ke Olimpiade 1976 setelak kalah adu penalti dari Korea Utara dengan skor 4-5.
Hasilnya, Wiel Coerver pun diberhentikan dari jabatan pelatih Timnas Indonesia. Kurikulum yang telah dia susun untuk sepak bola Tanah Air berantakan begitu saja.
Sekembalinya ke Belanda, Wiel Coerver menyusun metodologi bernama Coerver Method berdasarkan pengalaman di Indonesia. Sosok yang meninggal dunia pada 2011 itu menganggap pemain hebat bisa dihasilkan dengan kurikulum yang tepat.
Hampir 42 tahun berselang, keputusan yang hampir mirip kembali dilakukan oleh PSSI. Mereka memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Luis Milla.
Dalam surat perpisahannya, Luis Milla mengungkapkan berbagai kritikan untuk PSSI. Namun, dalam surat yang sama, dia juga berterima kasih kepada rakyat Indonesia dan menganggap Indonesia sebagai negara keduanya.
"Sebuah proyek lebih dari satu setengah tahun telah berakhir, di mana meskipun manajemen yang buruk, pemutusan kontrak yang konstan dan rendahnya profesionalisme para pemimpin," tulis Luis Milla pada surat perpisahannya.

Padahal, selama ini Luis Milla tutup mulut mengenai gaji dan kontrak di PSSI. Menurut kabar yang beredar, gaji pelatih asal Spanyol itu menunggak selama beberapa bulan. Namun, Milla memilih tidak mengungkapkan hal itu ke publik.
Seperti Wiel Coerver, Luis Milla dilengserkan karena dianggap tidak bisa memenuhi target. Milla memang gagal menjuarai SEA Games 2017 dan masuk empat besar Asian Games 2018 seperti yang ditargetkan kepadanya.
Meski begitu, sepak bola butuh proses. Belum mempersembahkan medali bukan berarti Luis Milla gagal. Dapat dilihat dari cara bermain Timnas Indonesia yang jauh lebih baik selama ditangani oleh Milla.
Bolehlah kita meniru timnas Jepang atau timnas Jerman soal kesabaran. Kedua negara yang bisa dibilang sukses dalam dunia sepak bola itu memiliki kesabaran dan rencana yang matang.
Saat ini, timnas Jepang merupakan satu di antara kesebelasan paling ditakuti di Asia. Meski begitu, mereka tidak serta merta menjadi raksasa sepak bola Asia.

Butuh proses panjang hingga akhirnya timnas Jepang mampu menjadi kekuatan baru di dunia sepak bola. Langkah awal mereka? Memiliki target 100 tahun memenangi Piala Dunia.
Artinya, target timnas Jepang adalah memenangi Piala Dunia 2050. Meski begitu, persiapan menuju Piala Dunia 2050 telah dilakukan sejak pencangan target, tepatnya pada 1950 silam.
Berbagai cara mereka lakukan untuk meraih target tersebut. Termasuk di antaranya mempelajari kompetisi sepak bola di Indonesia sebelum mendirikan J-League pada 1993.

Sementara itu, timnas Jerman memberikan kepercayaan penuh untuk Joachim Low sejak 2006. Low ditunjuk menjadi pelatih menggantikan Jurgen Klinsmann yang gagal total pada Piala Dunia 2006.
Apakah Joachim Low langsung membawa kesuksesan untuk timnas Jerman? Tentu saja tidak. Butuh waktu delapan tahun untuk Low mempersembahkan gelar Piala Dunia keempat untuk timnas Jerman.
Rasanya, dua kesabaran tersebut yang seharusnya ditiru oleh PSSI dalam membangun Timnas Indonesia. Tidak asal bongkar pasang pelatih yang mau memajukan sepak bola Indonesia.
Suara sumbang mengenai keputusan PSSI tidak memperpanjang kontrak Luis Milla berkeliaran di media sosial. Banyak yang menyayangkan berhentinya Milla sebagai pembesut Timnas Indonesia.

Dalam waktu yang singkat, Luis Milla telah membuat rakyat Indonesia berani bermimpi kembali menjadi kesebelasan yang ditakuti di Asia. Bahkan, tidak sedikit yang optimistis Timnas Indonesia bisa tampil di Piala Dunia.
Sayangnya, nasi telah menjadi bubur. Satu lagi hati pelatih asing yang mencintai sepak bola Indonesia dipatahkan oleh PSSI. Kini, mari berharap Skuat Merah Putih mampu tampil sempurna pada Piala AFF 2018 yang tinggal menghitung hari.
Kasus Wiel Coerver dan Luis Milla seharusnya menjadi pelajaran tersendiri untuk PSSI. Apabila terus begini, berapa lagi hati pelatih asing yang menangani Timnas Indonesia dipatahkan oleh PSSI?
"Masih butuh waktu bertahun-tahun untuk sepak bola Indonesia berubah. Itupun kalau perubahan dalam sepak bola Indonesia memang ada," Wim Rijsbergen, 2011.