Revolusi Red Bull di Dunia Sepak Bola, Kontroversi, dan Investor Bervisi Pengembangan Klub
BolaSkor.com - Apa yang terlintas di benak pikiran Anda ketika berbicara mengenai Red Bull? Tidak jauh dari minuman berenergi pastinya. Red Bull memang identik dengan hal tersebut. Namun ketika berbicara soal Red Bull, minuman berenergi, erat hubungannya dengan dunia olahraga.
Pemasaran Red Bull telah mengglobal. Tidak hanya menjual merchandise dan minuman berenerji ke dunia cangkupan perusahaan yang bermarkas di Austria itu juga menyasar kepada tim-tim olahraga.
Di bawah kepemimpinan Dietrich Mateschitz Red Bull menjadi sponsor tim-tim olahraga dunia. Di Formula One (F1) ada Red Bull Racing dan Scuderia AlphaTauri (tadinya bernama Toro Rosso), sementara di sepak bola ada RB Leipzig, Red Bull Salzburg, FC Liefering, Red Bull Brasil, dan New York Red Bulls.
Baca Juga:
RedBull Depok: Klub Anyar Indonesia Klaim akan Menjadi Saudara RB Leipzig dan Salzburg
Julian Nagelsmann, Pelatih Esentrik dengan Metodologi Kepelatihan Modern
6 Hal Menarik dari Rekrutan Anyar Liverpool, Takumi Minamino
Keseriusan Red Bull ketika mengambilalih tim-tim itu adalah membangun tim masa depan dengan pondasi yang kuat. Mereka tidak tebang pilih memilih tim-tim, khususnya di dunia sepak bola.
Red Bull tidak sekedar menjadi investor memberikan uang dan kemudian tak ikut campur atau mau tahu bagaimana situasi internal klub (terima beres saja). Faktanya, Red Bull mengembangkan klub itu dengan caranya sendiri.
“Kami tahu Red Bull sebagai brand dan mereka punya banyak uang, tapi bagaimana mereka berinvestasi dan mengembangkannya pada posisinya saat ini, dengan stadion dan fasilitas serta klub, sungguh luar biasa hebat,” tutur Andrew Sparkes, pelatih kiper yang pernah menjadi pelatih akademi di New York dan Salzburg (2005-2012).
“Mereka suka pemuda, orang-orang berenergi di perusahaan yang pekerja keras, berkomitmen kepada brand, dan mereka terus membangun dari pondasi tersebut.”
Terlihat positif tapi di balik sentuhan Red Bull di tim-tim yang dimilikinya menyimpan kontroversi. Ibarat yin dan yang, ada hitam dan putih atau keseimbangan antara kontroversi dan sisi positif Red Bull.
Kontroversi
Sedari awal ketika Red Bull mengakuisisi klub ada kontroversi yang muncul. Pada 2005 ketika membeli saham Austria Salzburg dan mengubah nama menjadi RB Salzburg, Red Bull langsung merombak total manajemen, staf tim, mengubah logo serta jersey klub.
Secara tidak langsung Red Bull langsung menjadi satu-satunya sponsor Salzburg sekaligus menjadikan klub sebagai ‘alat’ pemasaran. Satu hal lagi mereka mengabaikan sejarah klub dan tidak melibatkan fans di balik pengambilan keputusan itu.
Hal yang sama juga terjadi kepada New York Red Bulls dan RB Leipzig. New York tadinya bernama New York MetroStars dan berganti nama pada 2006. Lalu kasus menarik juga terjadi kepada RB Leipzig.
RB Leipzig saat ini bersaing di papan atas klasemen namun mereka tak mendapatkan respek dari sebagian besar fans dan klub di Jerman. Pasalnya Leipzig – yang tadinya bernama SSV Markranstadt dan berlokasi 13 kilometer dari Leipzig – dinilai mengabaikan struktur klub non-komersil dan demokrasi di Jerman.
Bundesliga memiliki aturan 50+1 yang seyogyanya diterapkan klub-klub Eropa. Itu artinya klub-klub – plus fans – memegang mayoritas hak untuk memberikan suaranya. Di bawah aturan DFL (Liga Sepak Bola Jerman) klub-klub sepak bola tak diperbolehkan bermain di Bundesliga jika investor komersil punya lebih dari 49 persen saham.
Sementara Leipzig menjadi satu-satunya klub di Jerman dengan anggota klub tak punya hak-hak untuk melakukan voting – 17 pekerja diperkerjakan oleh Red Bull. Fans juga merasa tidak dihargai karena opini mereka tak didengar.
“Kami tak merasa dihargai sebagai fans dan kami tak merasa dianggap serius,” ucap pernyataan fans di basis fans Fanverband Leipzig pada 2019.
“Kami terbiasa dengan hal tersebut di stadion lain di negeri ini, tapi di stadion kami sendiri, kami tak mau diperlakukan sebagai fans yang tak memberi pendapat, konsumen konformis yang dituduhkan kepada kami.”
Selain itu Red Bull juga mengabaikan sisi sejarah yang menjadi prestisius klub dengan simbol yang berada di jersey atau penamaan klub.
James Ayles menulis di Mailonline bagaimana Red Bull gagal mencapai kata sepakat dengan St Pauli dan Dusseldorf karena mereka melihat sejarah klub akan menjadi ketidakuntungan untuk memasarkan brand Red Bull.
Singkat kata ketika Red Bull memilih berinvestasi pada suatu klub atau tim, maka mereka memiliki caranya sendiri dalam pengaturannya dan tidak bisa diganggu gugat ketika melakukannya. Termasuk … merombak manajemen, mengabaikan sejarah, dan tidak banyak melibatkan fans.
“Red Bull tak ingin jersey sponsor. Jika Anda jersey sponsor, logo Anda di depan dan tidak lebih. Mereka ingin mengontrol segalanya,” imbuh Sparkes.
Sisi Positif
Ada buruk ada baik. Red Bull memang dikritik karena cara mereka mengorganisir tim dan keinginan untuk mengambilalih penuh, tapi patut diingat semua itu datangnya dari luar tim. Secara internal mereka menikmati proses perkembangannya.
RB Salzburg tadinya berkutat di Salzburger Liga, divisi empat sepak bola Austria, dan kini sudah punya 10 titel Austrian Bundesliga. New York memenangi konferensi lima kali, meski tanpa titel MLS mereka mampu menarik atensi penonton setempat untuk menyaksikan pertandingan.
RB Leipzig juga meningkat drastic dari NOFV-Oberliga Sud ke Bundesliga pada 2016, lalu bermain di Liga Champions, dan kini sudah menjadi salah satu tim papan atas Bundesliga.
Apa kesamaan dari klub-klub tersebut? Perkembangan pesat yang begitu nyata terjadi. Tidak hanya dari sisi peningkatan performa, Red Bull juga memerhatikan infrastruktur klub, stadion, dan akademi pemain muda.
Beberapa pemain muda juga tidak lepas dari perhatian mereka. Terlepas dari keberhasilan New York menarik nama-nama besar seperti Thierry Henry dan Tim Cahill di masa lalu, pemain-pemain muda juga berkembang di tim milik Red Bull seperti Timo Werner, Yussuf Poulsen, Naby Keita, Sadio Mane, Takumi Minamino, dan Erling Haaland.
Satu hal menarik lainnya adalah Red Bull menjaga baik stafnya dan melebur bak satu keluarga besar. Tiga figur yang menjadi ‘pengirim pesan’ filosofi Red Bull adalah Ralph Rangnick, Jesse Marsch, dan Andrew Sparkes.
Jesse Marsch sudah melatih tiga klub Red Bull dari New York (2015-2018), Leipzig (2018-19 asisten manajer), dan kini membesut Salzburg dari tahun 2019.
Rangnick sudah berada di Red Bull sejak 2012 dan memainkan peranan penting sebagai pelatih dan juga Direktur Olahraga. Ketiganya mengalami perkembangan karier yang berbeda, namun tetap bersatu di bawah payung Red Bull.
“Red Bull adalah keluarga dekat. Saya tahu orang-orang yang mengenal Ralph dan dia tahu orang-orang yang mengenal saya. Itu adalah benang merah,” tambah Sparkes.
“Terminologi yang digunakan Ralph adalah terminologi dan bahasa yang saya gunakan. Ketika Ralph berbicara tentang sebuah ide saya tahu itu dari waktu saya di Red Bull. Itu hanya akan terus menyebar ke seluruh sepak bola.”
“Mereka akan membawa semua pelatih dari Ghana, Brasil, Amerika, untuk melakukan pertemuan tentang filosofi, identitas dan memiliki ide yang jelas bagaimana mereka ingin mengembangkan kiper. Metodologi yang sama, bahasa yang sama.”
“Berbagi pengetahuan di semua organisasi itu luar biasa. Saya tidak bisa melakukan itu dengan tim lain. Itu memiliki akses ke berbagai filosofi dan ide-ide pembinaan yang membuat Red Bull begitu berbeda untuk bekerja,” pungkas Sparkes.
Menarik tentunya apabila Red Bull suatu hari mengambil salah satu klub Asia dan mengembangkannya seperti RB Salzburg atau RB Leipzig.