Sosok Feature Liga Dunia Liga Lain Berita

Hans-Jurgen Gede, Sosok dari Jerman dengan Andil Besar Membangkitkan Sepak Bola Vietnam

Arief Hadi - Rabu, 20 Mei 2020

BolaSkor.com - Peningkatan sepak Bola Vietnam dalam sekedade terakhir sangatlah signifikan. Dalam 10 tahun terakhir peringkat FIFA Vietnam meningkat 43 peringkat dari urutan 137 menjadi urutan 94. Itu menjadikan Vietnam sebagai satu-satunya negara ASEAN yang berada di 100 besar peringkat FIFA.

Kebangkitan sepak bola Vietnam dilandaskan dari konsistensi yang diperlihatkan VFF (Federasi Sepak Bola Vietnam) kepada proyek jangka panjang yang mereka miliki. Kesabaran itu mulai membuahkan hasil dalam tiga tahun terakhir.

Pembangunan tim untuk jangka panjang dengan melibatkan pemain-pemain muda berjalan baik. Pelatih asal Korea Selatan, Park Hang-seo ditunjuk sebagai pelatih yang menangani Timnas Senior Vietnam dan juga usia muda.

Baca Juga:

Sukses di Barcelona, Pep Guardiola Dianggap Hanya Beruntung

Pep Guardiola Bukan Pelatih yang Bagus untuk Pemain Bertahan

Wawancara Luis Milla: Rahasia Transfer Barcelona ke Real Madrid hingga Sepak Bola ala Jurgen Klopp-Guardiola

Dengan menunjuknya sebagai pelatih dari usia muda ke senior diharapkan Park dapat melanjutkan pengembangan pemain muda hingga regenerasi skuat tidak berhenti. Keputusan VFF menunjuk Park sudah tepat.

VFF melanjutkan budaya menunjuk pelatih asing untuk melatih timnas dengan harapan mereka membawa filosofi sepak bola baru, kultur baru yang dipadukan dengan karakteristik bermain Vietnam.

"Kami menyadari perlunya perubahan dalam perkembangan sepak bola (Vietnam) dengan wawasan sepak bola mereka (pelatih asing) jika kami ingin menaikkan standar ke level yang lebih tinggi," begitu ucapan Le Khanh Hai, Presiden VFF kepada FIFA.

"Tuan Park di antara pelatih-pelatih asing tersukses yang melatih timnas kami selama beberapa tahun terakhir ini. Di bawah arahannya, tim bermain dengan determinasi tinggi dan mendapatkan pencapaian yang bagus."

Park Hang-seo

Karl Heinz Weigan, Alfred Riedl, Henrique Caliston, Edson Tavares, hingga Toshiya Miura adalah lima pelatih asing Vietnam sebelum kedatangan Park. Tradisi menunjuk pelatih asing itu berdampak kepada kedisiplinan pemain Vietnam dan cara mereka beradaptasi dengan kultur asing.

"Dari kerja sama dengan pelatih-pelatih asing, kami telah belajar profesionalisme, kehati-hatian, dan kedisiplinan di sesi latihan. Wawasan yang kami dapat bahkan melebihi sisi teknik dan taktik, dan sekarang kami, contohnya, menyadari pentingnya mentalitas dan nutrisi," tambah Le Khanh Hai.

Hasilnya pun signifikan. Vietnam menjadi kekuatan utama yang disegani di ASEAN selain Thailand, menjuarai Piala AFF dua kali dan empat kali menempati urutan tiga dalam sedekade terakhir.

Di ajang SEA Games menjadi juara pada 2019 dan tiga kali jadi runner-up dalam sedekade terakhir, lalu pada tingkatan yang lebih tinggi, yakni Piala Asia, Vietnam menembus perempat final dua kali pada 2007 dan 2019.

Pada 2019 Vietnam lolos sebagai peringkat tiga terbaik dari fase grup di bawah Iran dan Irak di atas Yemen. Di 16 besar mereka menyingkirkan Yordania via drama adu penalti (4-2) setelah laga berakhir imbang 1-1 di waktu normal.

Lalu di perempat final Vietnam benar-benar menyulitkan Jepang. Meski pada akhirnya kalah 0-1 dari Jepang yang berhasil ke final, perjuangan Vietnam hingga ke perempat final menjadi kejutan dari tim Asia Tenggara - bahkan Thailand tak dapat melakukannya.

Semua itu berkat proses berkelanjutan yang tidak terhenti di tengah jalan yang dilakukan VFF untuk sepak bola Vietnam, apalagi pada 2017 Vietnam U-20 juga mengirim perwakilannya ke Piala Dunia U-20. Itu jadi bukti regenerasi yang terus berjalan dari tingkatan muda hingga senior.

Sorotan diberikan kepada VFF dan Park atas peningkatan sepak bola Vietnam, namun sedianya ada lagi sosok yang tidak kalah penting yang bekerja di balik layar dan berkontribusi. Dia adalah Hans-Jurgen Gede.

Hans-Jurgen Gede Bawa Kultur Sepak Bola Jerman ke Vietnam

Hans-Jurgen Gede

Sepak bola Jerman memiliki sejarah bagus dalam pengembangan pemain muda yang telah menjadi tradisi dan berlanjut sampai saat ini. Tradisi itu menular ke klub-klub Bundesliga dan berdampak bagus untuk timnas Jerman.

Oleh karena itu tidak usah heran jika selalu ada saja pemain-pemain muda yang masuk ke dalam timnas senior Jerman. Mereka memang berbakat dan disiapkan untuk investasi jangka panjang.

Hans-Jurgen Gede membawa gagasan itu ke Asia. Dahulunya lelaki berusia 63 tahun adalah mantan gelandang Schalke (1975-1977), SC Preuslen Munster (1977-1979), dan SC Fortuna Koln (1979-1991). Tak lama setelah pensiun ia langsung menjadi pelatih.

Sempat melatih Fortuna Dusseldorf pada awal karier kepelatihannya, Gede bertualang melatih Persepolis, timnas Iran U-23, menjadi Direktur Teknik Iran, membesut timnas Uzbekistan, Al-Ahli, Kuala Lumpur FA, dan mulai bekerja di Vietnam pada 2016.

Hans-Jurgen Gede (kanan)

Jabatannya sedari awal sudah jelas: Direktur Teknik Vietnam. Gede memantau dan turut mengembangkan usia muda Vietnam dan terus berkolaborasi memberikan masukan kepada Park Hang-seo.

Gede bekerja sebagai Dirtek Vietnam hingga 2019 (tiga tahun) dan meninggalkan Vietnam dengan kepala tegak. Gede tahu ia mendapatkan wawasan dan pengalaman berharga tak tergantikan yang menambah CV nya ketika berkarier di Asia.

"Seperti yang saya katakan sebelumnya adalah normal untuk putus di sepak bola. Lagipula, saya juga telah melakukan beberapa hal berguna untuk sepak bola Vietnam. Dan sebagai balasannya, Vietnam juga memberi saya banyak hal tentang kehidupan, memperkenalkan saya pada keindahan budaya," tutur Gede kepada Vnexpress.

"Di Belanda, selalu ada pot untuk membuat hot pot. Datang ke sini, saya menyadari ada hidangan yang luar biasa. Dalam dua tahun terakhir Natal, ketika teman-teman saya datang, mereka semua ingin saya membuat hot pot Vietnam. Ada hidangan lain, setiap kali istri saya datang ke Vietnam untuk makan, adalah hidangan ikan mas direbus dan dimakan dengan mie."

"Ada juga hari-hari yang berdekatan dengan Tahun Baru Vietnam tradisional, saya diundang untuk makan bersama keluarga Vietnam, untuk melihat reuni, tempat berteduh, kesenangan rakyat Vietnam."

"Itu yang tidak kami miliki di Eropa. Saya hanya memiliki satu putra, tahun ini juga sudah tua, sudah punya pekerjaan dan jabatan. Namun istrinya belum melahirkannya, yang merupakan kebebasan di Eropa, sepanjang hari hanya untuk merawat hewan peliharaan saja."

"Setelah dua dekade bertualang di Asia, saya menemukan kedamaian sebagai nilai terbesar yang dinantikan orang. Saya telah melalui dan menyaksikan begitu banyak hal gila sehingga saya tidak mengharapkan sesuatu yang tinggi lagi."

"Dengan Vietnam saya sudah ada selama empat tahun dan saya sadar negeri ini, hidup di sini memberikan rasa kedamaian," tambah Gede.

Clash of culture atau bertabrakannya dua budaya bisa diatasi Gede dengan baik di Vietnam. Meski sempat dikatakan oleh televisi di Vietnam bahwa dia tidak disukai di sana karena emosional dan mudah marah.

Karakteristik emosional orang Jerman memang kental dimiliki mereka ketika berekspresi dan tidak basa-basi mengutarakan apa yang ada di benak pikiran. Jurgen Klopp di Liverpool contohnya. Pun demikian dengan Gede.

Akan tapi kemarahan yang diperlihatkannya memiliki alasan tertentu - tidak asal marah. Lagipula menurutnya, ketegasan atau kemarahan acapkali dibutuhkan untuk mendidik pemain muda agar jalannya tidak menyimpang.

Park Hang-seo dan Hans-Jurgen Gede

"Saya mengerti Vietnam dengan sangat baik dan beradaptasi dengan sangat cepat. Saya telah berada di Asia selama lebih dari 20 tahun, telah melakukan perjalanan ke banyak negara, jadi saya tahu persis (budaya di Asia)," imbuh Gede.

"Saya makan pho, makan pasta udang. Bahkan, jenis bir dijual 10.000 dong per cangkir yang banyak orang bilang tidak baik, tidak boleh minum, saya rasa rasanya cocok dan sifat budaya yang unik dari orang Vietnam."

"Saya marah, saya pikir saya melakukannya. Tapi yang pasti, saya hanya marah pada pekerjaan yang tepat, orang yang tepat. Seperti pemain yang pemilih dan kurang substansi, fokus pada waktu atau melanggar peraturan. Saya bukanlah orang yang tidak masuk akal sampai menjadi mudah tersinggung tanpa alasan."

Di satu cerita pada turnamen di Indonesia, Gede juga membagikan pengalaman unik akan rasa frustrasinya menghadapi pemain-pemain muda Vietnam yang membeli rokok. Seperti diketahui rokok dijual bebas di Indonesia.

"Ada turnamen di Indonesia, beberapa pemain muda menyelinap untuk membeli rokok untuk merokok. Secara sosial, saya tidak mendukung merokok tetapi tidak mengutuk perokok, mereka hanya merokok di tempat yang tepat, tidak memengaruhi orang lain," terang Gede.

"Tetapi anak-anak masih muda, di bawah 18 tahun, dan itu bukan usia merokok. Ada yang salah dengan hukum. Apalagi, jika Anda seorang pemain sepak bola, Anda harus tahu bagaimana melindungi kesehatan Anda untuk memiliki karier yang panjang."

"Itu tidak berarti kami berada di negara Muslim, hukum yang ketat. Menjaga diri sendiri juga merupakan cara untuk melestarikan citra kolektif, bangsa, untuk melindungi "Bintang" yang Anda kenakan di dada."

"Pemain sepak bola profesional yang lebih tua dengan catatan merokok tidak baik, apalagi anak muda. Ini adalah tanggung jawab akademi, klub-klub di bawah, bukan petugas, pelatih kepala, dan VFF," urai Gede.

Latar belakang Gede adalah pemain dan pelatih, namun ia memiliki jiwa yang peduli dengan perkembangan pemain muda yang membuatnya cocok menjadi Dirtek.

"Saya sangat tertarik dengan sepak bola muda, karena kontinuitas adalah inti, tulang punggung dari latar belakang sepak bola," lanjut Gede.

"Tentu saja, ada banyak hal yang belum saya lakukan, secara makroskopis, belum ada gambaran komprehensif tentang latar belakang sepak bola yang diselesaikan selama saya di sini. Tetapi saya sendiri mencoba yang terbaik, seorang individu tidak dapat memutuskan sesuatu yang besar."

Hasil studinya terhadap pemain-pemain muda Vietnam juga menarik. Menurutnya banyak pemain muda berbakat di Vietnam yang sudah menonjol ketika tidak dalam sorotan kamera atau media.

"Saya mengikuti tim yunior, tetapi pekerjaan dimulai dengan sepak bola lokal. Tidak hanya sistem turnamen pemuda nasional, saya juga datang untuk menonton pertandingan latihan, pertandingan persahabatan, permainan internal yang tidak terbuka untuk penonton dan media," tambah Gede.

"Ada banyak hal menarik di sana, karena pemain yang bermain di lapangan tanpa penonton, tanpa lensa kamera akan menunjukkan kualitas terbaik. Mereka tidak dikuasai, karena mereka tahu bahwa tidak ada yang akan peduli dengan mereka."

Karakteristik Bermain Sepak Bola Asia dan Vietnam

Hans-Jurgen Gede (tengah)

Satu hal menarik lainnya adalah teori laga-laga yang dimainkan dalam kompetisi domestik yang tidak banyak, serta bagaimana sepak bola Asia memainkan sepak bola terbuka dalam kurun waktu 65 menit dan sisa 25 menit dalam situasi bola mati.

"Saya juga telah mempelajari format turnamen pemuda, menyadari bahwa pemain di bawah 21 tahun di Vietnam memiliki terlalu sedikit kesempatan untuk tampil. Selain jumlah laga yang hanya berkisar dari 12 laga hingga 15 laga per tahun, kami juga harus melihat jumlah waktu bola bergulir dalam pertandingan," papar Gede.

"Di Asia, bola sebenarnya bergulir sekitar 65 menit dalam satu pertandingan, yaitu 25 menit sisanya adalah bola mati. Pada negara-negara sepak bola terkemuka dunia, waktu bola bergerak di lapangan hingga 78 menit."

"Kami kehilangan hampir 15 menit per laga, sementara sudah beberapa laga sudah (berlalu). Jadi melalui banyak hal akan dilihat, pemain Vietnam tidak banyak bermain. Tapi sepak bola tidak (selamanya) soal permainan."

Hans-Jurgen Gede membawa segala pengalaman itu dalam hidupnya. Selepas membantu perkembangan sepak bola Vietnam, Gede memberikan pesan kepada pemain-pemain muda Vietnam dengan menjabarkan kekurangan yang mereka miliki.

"Cerdas, pemain Vietnam yang pintar. Tetapi itu tidak cukup. Faktanya, kita dapat berbicara jauh dan dekat secara fisik dan taktik, tetapi pada akhirnya, semuanya mengacu pada kata "kesadaran"."

"Seorang pemain yang sadar, dia akan tahu cara merawat dirinya sendiri, tahu apa yang buruk dan apa yang baik. Kelompok yang sadar akan tahu bagaimana menciptakan lingkungan yang sehat, menggabungkan semuanya."

Pergerakan tanpa bola dalam pertandingan juga menjadi aspek yang harus dibenahi Vietnam dan Park Hang-seo. Membangun ini tidak mudah dan dibutuhkan konsistensi di level tertinggi dalam menerapkan satu filosofi sepak bola yang sama.

"Berikutnya adalah kesadaran di lapangan sepak bola. Konsep "kesadaran" ini sangat luas. Saya hanya punya satu hal profesional untuk dikatakan: Masalah terbesar bagi para pemain Vietnam adalah bahwa mereka tidak memiliki perasaan "bergerak tanpa bola"."

"Dalam pertandingan, pemain hanya menyentuh bola sekitar 60 kali. Itu banyak, terutama di tempat-tempat bermain sepak bola yang panjang."

"Dalam 60 sentuhan itu, bagaimana mengoptimalkan umpan dan tembakan? Menendang bola untuk melakukan sesuatu yang orang lain meletakkan bola di kaki, dan bek berlari keluar untuk menembak? Harus bergerak, berlari, lari ke "blind spot" lawan baru untuk menangani situasi."

Sayang karier Hans-Jurgen Gede berakhir di Vietnam. Kendati demikian warisannya akan tetap ada di sana. Kedisiplinan ala Jerman dengan perpaduan Korsel Park akan terus tertanam di sepak bola Vietnam.

Cara VFF menangani Vietnam beserta pengembangan pemain muda yang mereka lakukan seyogyanya dapat ditiru PSSI di Indonesia. Persis seperti yang baru ini dikatakan Simon McMenemy, eks pelatih Timnas Indonesia.

Simon McMenemy

"Saya bertanya padanya cara mengembangkan kekuatan timnas dalam kondisi kualitas Liga Vietnam yang lebih rendah dibanding Indonesia," kata McMenemy di media Vietnam, Dantri.

"Mereka punya timnas yang kuat padahal perkembangan liganya tidak terlalu mengesankan. Bagaimana sepak bola Vietnam bisa memiliki hal itu?"

"Saya suka cara Vietnam memandang sepak bola di negara mereka. Mereka tidak melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa sepak bola mereka hebat atau liga mereka liga yang besar."

"Mereka lebih realistis. Mereka paham bahwa mengirim pemain berkarier di luar negeri dapat menambah kualitas pemain itu sendiri," tambahnya.

"Jika Indonesia mencoba mengirim pemain ke luar negeri, tentu timnas Indonesia akan jadi kuat. Sayangnya PSSI tidak melakukan itu," pungkas Simon.

Bagikan

Baca Original Artikel