Analisis Feature Piala Dunia Internasional Berita

Efek Piala Dunia, Keluhan Pelatih Top Eropa, dan Solusi untuk Masa Depan

Arief Hadi - Senin, 30 Juli 2018

BolasSkor.com - Tidak ada satupun pesepakbola di dunia ini yang tidak mendambakan titel Piala Dunia. Terutamanya bagi mereka, yang berada di negara dengan tradisi besar sepak bola dan pernah sukses di masa lalu.

Piala Dunia hanya berlangsung empat tahun sekali. Tidak banyak kesempatan bagi pemain untuk meraihnya seiring bertambahnya usia. Itulah kenapa, para pemain rela tampil habis-habisan untuk negara tercinta demi dapat meraihnya.

Pemain bertarung di lapangan. Pun demikian fans yang bertarung, bersaing memberikan dukungan sekuat tenaga untuk tim kesayangan mereka. Tidak diragukan lagi, Piala Dunia memang pesta terbesar sepak bola dunia - seluruh orang seantero dunia merasakan atmosfernya.

Piala Dunia teranyar tahun ini telah berlalu di Rusia beberapa pekan lalu. Timnas Prancis keluar sebagai juara untuk kali kedua dengan mengalahkan Kroasia dengan skor telak 4-2.

Pasca Piala Dunia, efek besar mulai dirasakan pelatih-pelatih klub top Eropa saat melakoni tur pramusim dalam rangka persiapan menyambut musim 2018/19.

Pemain-pemain yang berpatisipasi di Piala Dunia, khususnya mereka yang terus bermain hingga fase gugur, 16 besar, perempat final, semifinal, hingga final, diberi jatah libur tambahan hingga absen membela skuat klub di tur pramusim.

Akibatnya, para pelatih klub - khususnya mereka yang klubnya banyak diperkuat pemain yang bermain di Piala Dunia - dibuat frustrasi, karena minimnya pilihan di dalam skuat pramusim.

Mereka tidak punya pilihan lain selain membawa produk akademi, pemain di tim cadangan, pemain anyar, serta beberapa pemain senior yang tersisa ke dalam skuat.

Tidak hanya itu, di saat pemain kembali dari masa liburannya, mereka juga tidak bisa langsung diturunkan untuk bermain layaknya di video game, karena butuh penyesuaian, khususnya dari segi kebugaran untuk tampil di laga kompetitif.

Salah satu 'korban' dari Piala Dunia itu adalah Jose Mourinho, manajer Manchester United. Sepanjang tur pramusim di Amerika Serikat (AS), Mourinho selalu mengeluhkan kondisi pincang skuatnya

"Kami bukanlah tim. Kami sekumpulan pemain dari tim-tim berbeda. Beberapa pemain tim utama, beberapa pemain U23, beberapa datang dari masa peminjaman dan akan kembali dipinjamkan, beberapa lagi lebih muda, U18," papar Mourinho.

"Kami tidak punya sebuah tim untuk dimainkan lebih baik lagi dari apa yang telah kami lakukan, tapi, semua ini lebih seperti sesi latihan."

Keluhan Mourinho semakin menjadi pasca Man United dilumat 1-4 oleh Liverpool di Piala Champions Internasional.

“Hasil ini (kekalahan dari Liverpool) tidak ada kaitannya dengan bala bantuan, bala bantuan adalah (Paul) Pogba, (Marouane) Fellaini, (Victor) Lindelof, (Marcus) Rashford, (Jesse) Lingard, (Nemanja) Matic, dan (Antonio) Valencia. Merekalah bala bantuannya. Ini (skuat sekarang) bukan tim kami, bukan skuat kami,” cetus Mourinho.

“Kami memulai laga dengan hampir separuh pemain yang bahkan tidak pantas ada dalam skuat pada 9 Agustus (laga pembuka Premier League). Mereka tidak akan ada di sini. Ini bukan skuat kami. Bala bantuan, maksud Anda pemain yang ingin saya beli, untuk ditambahkan ke dalam skuat. Namun, itu hal berbeda,” sambungnya.

Sekilas, tampak terlihat jelas di depan publik bahwa Mourinho hanyalah seorang manajer yang banyak mengeluh akan kondisi skuatnya - tidak menerima apa adanya. Namun di satu sisi berbeda, untuk memahami keluhan Mourinho, dia sebenarnya tengah frustrasi.

Manajer atau pelatih mana yang tidak frustrasi, ketika dia dituntut memberikan kesuksesan untuk tim, tapi, terancam tak bisa memulai awal musim dengan pemain-pemain andalan. Belum lagi, transfer Man United terbilang lamban.

Apa yang dirasakan Mourinho hanya satu contoh korban efek Piala Dunia. Hal serupa juga dirasakan pelatih anyar Paris Saint-Germain (PSG), Thomas Tuchel, yang terpaksa menurunkan nama-nama 'asing' ketika timnya dicukur Arsenal dengan skor telak 1-5.

PSG tidak diperkuat Neymar, Edinson Cavani, Kylian Mbappe, yang masih berlibur - Cavani juga masih cedera. Tuchel pun jadi pelatih kedua setelah Mourinho yang menjadi korban Piala Dunia.

"Semuanya mencintai Piala Dunia dan kita semua ingin menyaksikannya, tetapi hal itu memberi dampak besar pada awalan musim kami," keluh Tuchel.

Solusi untuk Masa Depan

Solusi jelas dibutuhkan untuk Piala Dunia mendatang agar tidak menganggu jadwal mepet bergulirnya musim liga-liga top Eropa. Tuchel menyarankan agar waktu bergulirnya musim diundur sehingga pemain punya banyak waktu istirahat lebih, plus klub juga bisa melakukan persiapan dengan matang.

"Harus ada solusi untuk hal tersebut di Piala Dunia mendatang, musim harus bergulir dengan waktu berbeda dari saat ini. Tidak ada alasan untuk liga berakhir di bulan Mei. Kami dapat bermain hingga Juni atau Juli di tahun mendatang," tambah Tuchel.

"Semuanya suka pertandingan sepak bola dan ingin menyaksikan pemain-pemain terbaik, namun, biarkan mereka beristirahat karena merekalah yang berakhir - bukan kami, pelatih. Sepak bola itu pertandingan antar-pemain dan kami harus melindungi mereka."

"Sekarang ini, kami melakukannya, meski situasinya bisa semakin rumit saat musim bergulir dan memberi dampak besar. Namun, kami ingin mereka ada di Piala Dunia dan bermain untuk negeri mereka, mereka juga menginginkannya," terang Tuchel.

FIFA memang harus mempertimbangkan hal tersebut di tahun terjadinya Piala Dunia. Nah, mumpung masih ada waktu empat tahun lagi sebelum Piala Dunia 2022, FIFA bisa memanfaatkannya untuk mencari solusi yang menjadi win-win solution: Piala Dunia tidak menganggu persiapan tim di liga-liga top Eropa dalam menyambut musim baru.

Bagikan

Baca Original Artikel