"Mengingat apa yang sudah kita semua lihat situasi bola mati terjadi karena permainan pragmatis dan lebih mudah dikontrol ketimbang tim yang bermain terbuka (ofensif), maka ada kemungkinan (salah satu di antara) tim-tim tersebut merayakan sukses mereka selama bertahun-tahun ke depan, ketimbang menanti kesuksesan empat tahun lagi," ucap Rosenior.

Spanyol contohnya. Juara bertahan Piala Dunia 2010 serta Euro 2008 dan 2012, menjadi korban kegagalan 'move on' dari permainan tiki-taka yang mempopulerkan mereka dalam kurun waktu tersebut. La Furia Roja disingkirkan tuan rumah, Rusia, via drama adu penalti dengan skor 3-4, setelah laga berakhir imbang 1-1 di waktu normal.

Cara Spanyol tersingkir sudah menggambarkan bagaimana tingkat kesuksesan tim-tim anti-penguasaan bola di Piala Dunia 2018. Spanyol mendominasi penguasaan bola mutlak 79 berbanding 21 Rusia, melepaskan 23 tendangan dan sembilan tendangan tepat sasaran, serta melakukan total 1113 operan sukses berbanding 291 Rusia. Tapi, apa yang terjadi?

Spanyol tidak mampu menjebol gawang Igor Akinfeev, kiper Rusia. Bahkan satu-satunya gol mereka lahir dari bunuh diri bek berusia 38 tahun Rusia, Sergei Ignashevich. Akinfeev lah pahlawan kemenangan Rusia kala menggagalkan dua penalti Spanyol yang diambil Koke dan Iago Aspas.

Jika sudah seperti itu, apa gunanya bermain dengan penguasaan bola? Dalam kasus Spanyol, tiki-taka. Pelaku yang pernah memeragakan permainan itu, Cesc Fabregas, sampai mengakui kalau tiki-taka sudah basi.

"Mereka (Spanyol) menguasai penguasaan bola, saya fans besar tiki-taka, permainan yang indah, tapi, tidak ada yang terjadi (pada laga Rusia kontra Spanyol). Kita semua tidak melihat bahaya apapun dari timnas Spanyol, terlepas dari tandukkan Diego Costa dan satu tendangan dari luar kotak penalti Isco," terang Fabregas.

"Ada beberapa kesempatan untuk maju ke depan, Diego Costa melakukan pergerakan (tanpa bola), begitu juga pemain lain. Tapi, yang mereka lakukan malah mengirim bola kembali ke belakang dan hanya ingin menginginkan penguasaan. Saya pikir tadi itu lebih penguasaan bola untuk bertahan ketimbang menyerang, ini seharusnya digunakan sebaliknya."

Kekurangan Spanyol melakukan keberanian dalam melakukan penetrasi, justru terlihat kepada tim-tim yang sejauh ini lolos ke perempat final. Uruguay, Prancis, Brasil, Belgia, dan Swedia lolos karena efisiensi bermain mereka dalam mengubah peluang - sekecil apapun - menjadi gol. Beberapa di antaranya, memiliki pemain ofensif yang lincah.

Jika benar demikian, bukankah kiblat sepak bola saat ini bisa dikatakan kembali ke era catenaccio Italia? Mungkin saja. Aplikasi dan filosofi bermain tiap tim berbeda. Tidak semuanya mengikuti catenaccio ala Nereo Rocco, Helenio Herrera, atau Dino Zoff.

Catenaccio berbeda dengan istilah parkir bus yang benar-benar bermain dengan pendekatan super bertahan. Parkir bus hanya dibuat oleh publik karena permainan sebuah tim yang sama sekali tidak punya niatan menyerang, mencetak gol, melainkan hanya mengamankan poin yang dibutuhkan.

Sementara catenaccio, bermain dengan level taktikal yang sangat tinggi dan dibutuhkan fokus serta disiplin yang kuat, khususnya dalam memahami posisi bermain. Ketika lawan frustrasi, maka serangan balik akan dilancarkan untuk mencetak gol seefisien mungkin.

Contoh permainan itu bisa dilihat Uruguay ketika menyingkirkan Portugal dengan skor 2-1 di 16 besar. La Celeste - julukan Uruguay - bermain layaknya Italia saat menghentikan permainan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan.

Lanjut Baca lagi