Bak pisau bermata dua, tekanan itu bisa mengasah mentalitas pemuda berbakat, dan di sisi berbeda, jika mereka tak mampu mengatasinya, maka karier mereka bisa hancur. Simak ucapan Bino, mantan pelatih Joao Felix di bawah ini.

"Ketika kami diberitahu bahwa kami punya banyak talenta, kami tak perlu menanggapinya dengan berlebihan, karena kami pikir talenta bisa membawa kami ke manapun kami inginkan. Itulah yang terjadi dengan Joao di Porto."

"Kami harus sangat berhati-hati, kita berada di era di mana pemain sangat cepat dinilai - dan terkadang tidak mudah untuk melihatnya setiap hari di media, Anda disebut yang terbaik, bahkan di usianya (Felix yang masih belia)."

Ke mana arah Felix melaju hanya waktu yang bisa menjawabnya. Terpenting, kariernya masih sangat panjang dan cerah.

Felix merupakan salah satu wajah perwakilan generasi baru yang akan meramaikan sepak bola Eropa bersama Jadon Sancho, Vinicius Junior, dan Mbappe.

Ditolak Porto karena Kekurusan, Berkembang Pesat di Benfica

Joao Felix di Porto

Sekedar informasi, Felix bukanlah pemain asli yang muncul dari akademi Benfica, melainkan Porto. Di sana, Felix menghabiskan waktu enam tahun (2008-2014) bekerja dengan tim fisik Porto untuk mengejar satu hal: meningkatkan bobot badan.

Kendati terlibat dalam proyek bernama Proyek Pemain Elite (PJE) Porto, tempat untuk talenta-talenta muda berbakat Portugal, Felix nyatanya tidak puas berada di Porto. Usai berbincang dengan ayahnya, Carlos Sequiera, Felix memutuskan pindah terlebih dahulu ke Padroense sebelum ke Benfica.

Sequiera juga pernah bermain sepak bola amatir di area Viseu, kampung halaman Felix, dan menjalani karier sebagai asisten pelatih. Jadi, bak buah tidak jatuh dari pohonnya, Felix mengikuti jejak ayahnya - hanya saja lebih terkenal.

Bersama Rui Vitoria, Felix dimainkan di posisi sayap dalam taktik 4-3-3 dan tidak bermain reguler. Situasi Felix berbalik derajat 180 derajat saat Bruno Lage melatih Benfica. Perannya bertransformasi menjadi penyerang kedua dalam formasi 4-4-2.

Lanjut Baca lagi