Kekuatan Finansial PSG dan Manchester City Rusak Kestabilan Sepak Bola Eropa
BolaSkor.com - Presiden LaLiga, Javier Tebas, kembali melancarkan serangan kepada dua klub Eropa yang disokong pengusaha kaya raya asal Timur Tengah, Manchester City dan PSG (Paris Saint-Germain). Tebas menilai kedua klub tersebut merusak keseimbangan bursa transfer di Eropa.
Tebas tidak asal bicara. Publik masih mengingat persis bagaimana transfer Neymar terealisasi dari Barcelona ke PSG pada 2017 sebesar 222 juta euro - sampai saat ini masih jadi transfer termahal dunia.
Adanya peraturan FFP (Financial Fair Play) yang diterapkan UEFA nyatanya tidak menghentikan kedua klub tersebut untuk berinvestasi dalam jumlah yang lebih besar. Alhasil, muncul efek domino di bursa transfer.
Harga-harga pemain mengalami inflasi dan dampaknya, klub-klub kecil dan semenjana kesulitan merekrut pemain yang diinginkan karena harga yang mahal. Mereka diharuskan menjual pemain terlebih dahulu sebelum merekrut pemain baru.
Baca Juga:
Mengulas Kasus Pelanggaran FFP Manchester City: Asal Muasal dan Potensi Hukuman Berat
Nestapa PSG Bisa Jadi Momen Kebangkitan AS Roma
Manchester City Terancam Tak Bisa Ikuti Liga Champions Meski Menangi Premier League
Kondisi itulah yang meyakinkan Tebas untuk menuding Man City dan PSG sebagai tim-tim yang merusak kestabilan sepak bola Eropa. Kekuatan finansial mereka membuat jarak yang sangat besar dengan klub-klub lainnya.
"Masalah dengan PSG dan City adalah mereka klub yang dijalani oleh negara: satu dari uang petrol dan satu lagi gas," ucap Tebas kepada Financial Times.
"Kerusakan yang terjadi di sepak bola Eropa besar karena mereka terus meningkatkan harga transfer, jadi klub harus membayarkan jumlah yang tidak masuk akal untuk mempertahankan pemain mereka."
"Ada klub-klub yang tidak terlalu memedulikan apa pemasukan utama mereka ketika mereka merekrut pemain karena mereka menerima pemasukan dari sebuah negara," tegas Tebas.
Tebas bahkan berkata dominasi yang diperlihatkan PSG dan Man City merusak keseluruhan sistem sepak bola di Eropa.
"Itu memaksa klub-klub pada situasi ekonomi yang benar-benar berada di penghujung tanduk. Itu merusak keseimbangan keseluruhan struktur sepak bola Eropa. Ini bukan lagi olahraga dan bukan lagi industri. Ini seperti halnya menjadi mainan, mainan negara," tambah Tebas.
"Dan ketika mereka sedang memainkannya, anak-anak mulai bermain dengan anak-anak lainnya. Anda pada akhirnya merusak keseluruhan sistem," pungkasnya.
Arief Hadi
16.042
Berita Terkait
Klasemen Perolehan Medali SEA Games 2025, Rabu (17/12): Tambah 10 Medali Emas, Tim Indonesia Nyaman di Urutan Kedua
SEA Games 2025: Pecah Telur Medali Emas, Tim Equestrian Indonesia Bidik Target Lebih Tinggi
Talavera vs Real Madrid: Los Blancos Pantang Anggap Enteng Lawan
SEA Games 2025: Tim Berkuda dan Gulat Rebut Medali Emas Pertama
Chelsea ke Semifinal Piala Liga Inggris, Enzo Maresca Kembali Tersenyum
SEA Games 2025: Riau Ega Raih Medali Emas, Tim Panahan Indonesia Mendominasi
SEA Games 2025: Rendi dan Memo Ungkap Kisah di Balik Medali Emas Nomor Men's Double Sculls
Kylian Mbappe Menang Gugatan, PSG Harus Bayar Rp1 Triliun Lebih
SEA Games 2025: Resep Panahan Indonesia Kawinkan Emas Beregu Recurve
Jadi Kiper Terbaik FIFA 2025, Gianluigi Donnarumma Bidik Banyak Trofi di Manchester City