Analisis – Sisi Pragmatis Southgate dan Talenta Lini Serang Inggris yang Terbuang Sia-sia

Pola pikir pragmatis dan pendekatan defensif Gareth Southgate di timnas Inggris jadi sorotan.
Arief HadiArief Hadi - Selasa, 13 Juli 2021
Analisis – Sisi Pragmatis Southgate dan Talenta Lini Serang Inggris yang Terbuang Sia-sia
Gareth Southgater bersama Jadon Sancho dan Marcus Rashford (Twitter)
Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

BolaSkor.com – “It's coming home, it's coming home, it's coming, football's coming home.” Itulah lirik dalam lagu “Football Is Coming Home” yang ditulis oleh Ian Broudie, Frank Skinner, dan David Baddiel.

Lagu itu bersama “Sweet Caroline” bagaikan lagu kebangsaan Inggris yang dinyanyikan suporter dengan penuh ceria, mengantarkan timnas Inggris ke final Piala Eropa 2020 dan bahkan beberapa saat sebelum laga final melawan Italia dimulai, beriringan dengan chants lagu itu dinyanyikan menuju Wembley, stadion laga final.

Sayangnya, Inggris belum memenangi trofi apapun dan suporter berulah sebelum laga final. Rekaman video memperlihatkan pemukulan dari suporter Inggris kepada mereka yang mendukung Italia.

Baca Juga:

Soal Bukayo Saka Jadi Eksekutor Kelima, Southgate Berpegang pada Data

5 Bintang Timnas Inggris yang Patut Mendapatkan Sanjungan Meskipun Gagal Juara

Gianluigi Donnarumma dan 6 Pemenang Penghargaan Pemain Terbaik Piala Eropa

Fans timnas Inggris bakar bendera Italia

Belum lagi dengan momen ketika mobil mahal buatan Italia, Lamborghini dikelilingi oleh suporter Inggris (tapi tidak menghancurkannya). ‘Tuhan’ sepak bola tidak tidur dengan segala ulah itu dan memang benar apa yang sudah dikatakan Kasper Schmeichel (kiper timnas Denmark) dan Alessandro Altobelli (eks pemain timnas Italia).

“Menyenangkan menang melawan Inggris di Wembley, yang selalu berpikir mereka yang terbaik, terhebat, paling bertalenta dan paling indah. Tapi, jika dilihat kabinet trofi mereka hanya ada satu trofi karatan dari 1966!” ucap Altobelli.

"Hentikan Football Is Coming Home. Apakah itu pernah terjadi? Saya tidak tahu. Apakah mereka pernah meraihnya? 1966? Bukankah itu Piala Dunia?” ujar Schmeichel.

Kick-off dan Jalannya Laga

Laga tampaknya sudah berjalan dengan skenario Inggris kala Luke Shaw mencetak gol cepat di menit dua. Dari bek sayap ke bek sayap, Kieran Trippier memberikan umpan silang yang disambar Shaw dan berbuah gol. Taktik 3-4-2-1 Gareth Southgate seakan berjalan baik – setidaknya di 45 menit pertama laga.

Selebrasi gol Luke Shaw

Terlepas dari tendangan bebas Lorenzo Insigne yang melebar, sepakan spekulatif Federico Chiesa, Italia tak menciptakan banyak peluang berbahaya di paruh pertama meski dominan di penguasaan bola.

Akan tapi di babak kedua hasil didikan Corveciano, Roberto Mancini menunjukkan kelasnya, memperlihatkan mengapa pelatih-pelatih Italia selalu memiliki rencana A, B, C dan seterusnya dalam mempersiapkan laga seperti yang pernah dikatakan Antonio Conte.

Meski Inggris begitu kuat dalam bertahan dan baru kebobolan satu gol sebelum melawan Italia di Piala Eropa 2020, Mancini tidak patah arang.

Dengan cerdas ia memainkan Domenico Berardi dan Bryan Cristante menggantikan Ciro Immobile, yang seringkali kalah dalam duel perebutan bola, serta Nicolo Barella yang sudah menerima kartu kuning dan tidak ‘terlihat’ di babak pertama.

Pergantian itu berbuah hasil. Insigne bergerak seperti halnya trequartista (pengatur serangan) dalam peran false nine (penyerang semu) pada formasi 4-3-3 dan mendapatkan ruang bermain kala menjemput bola ke tengah permainan.

Aksi Federico Chiesa kontra Inggris

Inggris tak punya penyerang sentral Italia yang dapat mereka jaga. Chiesa dan Berardi bergerak sebagai inside striker atau inverted winger, peran yang kerap melakukan penetrasi dari sisi sayap.

‘Cahaya’ mulai terlihat dan Italia terus ‘mengetuk’ pintu pertahanan Inggris. Sepakan Insigne ditepis Jordan Pickford dan juga sepakan Chiesa. Ibarat permainan catur, Italia melakukan pergerakan ofensif melawan Inggris yang bertahan melindungi ‘raja’.

Benar saja, Leonardo Bonucci mencetak gol di menit 67 dari kemelut di kotak penalti Inggris. Bukan gol yang tercipta indah, tapi gol Italia sudah mulai terlihat (cepat atau lambat akan datang), sebab mereka mendominasi permainan dan menciptakan banyak peluang.

Benteng kukuh lambat laun bisa hancur jika terus diserang, itulah yang dilakukan Italia kepada Inggris. Tim tuan rumah hanya menyerap atau menerima apa yang diberikan italia.

Dalam situasi itu Italia unggul momentum dan mentalitas, pada babak tambahan skor tetap sama kuat 1-1 dan di drama adu penalti, situasi ini sudah tak lagi dalam kendali pelatih: hanya pemain, kiper, dan mistar gawang.

Gianluigi Donnarumma, kiper Italia menggagalkan dua penalti Inggris dari Jadon Sancho dan Bukayo Saka, sementara peluang dari Marcus Rashford menerpa mistar gawang. Dari Italia Andrea Belotti dan Jorginho gagal mencetak gol. Italia menang 3-2 dari drama adu penalti.

Gianluigi Donnarumma jadi pahlawan kemenangan Italia

"Gol awal yang kami terima itu memukul kami dengan keras. Tapi kami memiliki kekuatan untuk kembali ke permainan dan, saya pikir, pantas untuk menang,” ucap Roberto Mancini.

‘Keadilan’ dalam Sepak Bola, Gareth Southgate Terlalu Negatif

“Banyak, banyak kesalahan (yang dilakukan Southgate) karena mereka terlalu negatif, mereka sangatlah defensif di final ini. Kritikan kepadanya dan caranya melatih adalah terlalu pragmatis. Itu membawa mereka sukses ke semifinal tapi sayangnya tidak ada trofi.”

“Pragmatisme bisa menghantui mereka karena itu menjadikan mereka negatif, defensif, dan kurangnya kohesi (pergerakan ofensif), dan cara mengalirkan bola jadi buruk. Mereka super negatif.”

Kritikan itu datang dari pembicara dan penulis di ESPN, Craig Burley ketika ditanya seberapa besar kesalahan Southgate di final. Sepenuhnya tidak salah karena faktanya demikian dan bahkan diakui oleh legenda Inggris, Gary Lineker.

"Saya pikir ke depan Inggris harus menemukan cara untuk lebih berpikiran menyerang. Lebih berani dalam penguasaan bola dan menempatkan lebih banyak pemain di depan. Kami memiliki talenta ofensif untuk menakuti tim-tim lawan, saat ini kami tampaknya takut untuk melepaskan bakat itu."

Itulah ‘dosa besar’ Gareth Southgate dengan melihat talenta besar dan ofensif di dalam skuad Inggris terkini. Skuad Inggris memang dibawanya ke semifinal Piala Dunia 2018, lalu final Piala Eropa 2020 (pertama setelah 55 tahun), tapi pendekatan itu tak berjalan baik untuk meraih trofi.

Gareth Southgate dan Raheem Sterling

Fakta sejarah memang mencatatkan Portugal sebagai juara Piala Eropa 2016 dengan pendekatan defensif, pragmatis atau pelatih yang berhati-hati dalam menerapkan formasi. Itu bisa dilihat dari catatan.

Portugal imbang di tiga fase grup, di fase gugur Cristiano Ronaldo dkk hanya sekali menang dua gol atau lebih pada semifinal melawan Wales (2-0). Kontra Prancis di final mereka menang 1-0. Begitu juga Prancis ketika menjuarai Piala Dunia 2018.

Akan tapi ada kalanya pelatih dituntut untuk lebih ‘berani’ bermain ofensif ketika dibutuhkan. Tanpa mengurangi rasa respek kepada Italia, Inggris yang sudah memiliki ‘pemain ke-12’ di Wembley, pemain-pemain muda dan lincah, serta kekuatan fisik yang bahkan diakui Mancini, tidak mampu dimanfaatkan untuk menguji pertahanan Italia.

"Inggris itu secara fisik lebih kuat dari kami di seluruh area, bukan cuma di lini tengah. Tapi sepak bola dimainkan dengan bola di kaki, jadi kami berharap teknik bisa unggul," tutur Mancini.

Tapi kesalahan Inggris adalah tidak membawa kelebihan fisik itu ke dalam laga. Tidak ada pressing tinggi dan pendekatan mereka terlalu defensif. Lineker berkata ketakutan dan itu benar.

Peran pelatih sangatlah besar dalam hal itu. Inggris punya Jadon Sancho yang musim lalu mempersembahkan 16 gol dan 20 assists di Borussia Dortmund, lalu Jack Grealish dengan tujuh gol dan 12 assists dengan Aston Villa, serta Rashford yang mencetak 21 gol serta 15 assists dengan Manchester United.

Jadon Sancho di bangku cadangan Inggris

Belum lagi dengan Phil Foden atau Mason Mount. Nama yang disebut terakhir jadi starter kontra Italia, tetapi bermain bertahan membatasi talentanya. Kala Italia menyamakan kedudukan Southgate tak berani melakukan apa yang dilakukan Mancini.

“Dan penilaian Mancini - dan, dalam hal ini, lawannya Gareth Southgate - tidak dan seharusnya tidak berubah berdasarkan siapa yang memenangkan adu penalti,” tulis Gabriele Marcotti di ESPN.

Southgate memainkan Jordan Henderson menggantikan Declan Rice, lalu Bukayo Saka untuk Kieran Trippier, tetapi permainan Inggris masih negatif dan mengandalkan serangan balik. Perubahan hanya terjadi di taktik.

Ketika memasuki babak tambahan Southgate memainkan Jack Grealish, Marcus Rashford, dan Jadon Sancho, tetapi masuknya Rashford dan Sancho tak lebih disiapkan untuk menendang penalti dan ironisnya, gagal mencetak gol dari penalti.

Pragamatis, terlalu negatif, defensif, atau bahasa sopannya: pelatih yang berhati-hati – sebut apa saja untuk Southgate. Akan tapi Southgate membantah menginstruksikan anak-anak asuhnya untuk bermain defensif.

Gareth Southgate dan Roberto Mancini

“Hal-hal itu (bermain ofensif) selalu menjadi ambisi kami. Kami telah memainkan empat pemain penyerang dalam pertandingan yang kami mainkan sejauh ini. Kami tidak mengatakan kepada para pemain 'Jangan mainkan bola ke depan', 'Jangan gerakkan bola dengan cepat', 'Jangan menyerang'.”

“Saya tidak berpikir Anda akan menemukan pesan-pesan itu dalam persiapan kami untuk pertandingan apapun, jadi sangat sering pihak lawan mendikte banyak hal yang boleh Anda lakukan dalam pertandingan sepak bola.”

“Kami tahu bahwa kami ingin menjadi lebih baik dengan bola dan kami ingin menggerakkan bola lebih cepat dan kami harus membangun soliditas yang telah kami tunjukkan sampai saat ini,” tutur Southgate kepada ITV.

Analisis Taktik

Italia menggunakan taktik 4-3-3 yang sudah digunakan sepanjang turnamen dan membawa mereka sejauh ini, plus catatan unbeaten di 34 laga. Reinassance yang dilakukan Mancini pasca kehancuran Italia yang gagal lolos Piala Dunia 2018 berjalan baik.

Sementara Inggris dengan taktik 3-4-2-1 yang sukses mengalahkan Jerman di 16 besar dengan skor 2-0. Tentu saja Italia bukan Jerman. Taktik tiga bek Inggris sedianya bukan hal baru lagi dan Bobby Robson pernah menggunakan untuk kali pertama pada Piala Dunia 1990.

Timnas Inggris 1990

"Kami selalu bermain dengan 4-4-2 bertahun-tahun lalu dan kami tidak pernah beradaptasi dengan tim lain yang memiliki satu pemain di depan dan tiga pemain di lini tengah. Kami selalu mengejar dan bekerja lebih keras daripada tim lain untuk mendapatkan bola kembali,” tutur eks pemain timnas Inggris, Chris Waddle.

Robson menggunakannya kala itu dengan mempelajari kekalahan 1-3 Inggris dari Belanda di Piala Eropa 1988. Belajar dari itu, lalu keberhasilan Portugal dan Prancis juara dengan pendekatan defensif, serta fakta Southgate mantan bek timnas Inggris, semua itu berpengaruh ke permainan Inggris.

Italia dominan dengan penguasaan bola 66 persen, 19 percobaan tendangan dan enam tepat sasaran, sementara Inggris dengan 34 persen penguasaan bola serta enam percobaan tendangan dan dua tepat sasaran.

Apabila pada Piala Eropa 2012 Andrea Pirlo menjadi jenderal lapangan tengah melawan Inggris, dalam edisi 2020 Marco Verratti dan Jorginho menggantikan peran Pirlo. Sedangkan dua gelandang Inggris yang dimainkan punya tipe serupa: Kalvin Phillips dan Declan Rice, dua gelandang jangkar perebut bola.

Betapa dalamnya pertahanan Inggris (Foto: Football Made Simple)

Mudah untuk melihat permainan Italia yang menjadi 3-2-5 kala bermain ofensif dan menguasai bola.

Dengan kurangnya tekanan dari pemain Inggris yang melakukan penjagaan satu lawan satu, serta zonal marking, Donnarumma bersama dengan Giovanni Di Lorenzo, Leonardo Bonucci, dan Giorgio Chiellini membentuk segitiga permainan untuk operan bola pendek.

Bonucci dalam hal itu menjadi bek dengan kemampuan melambungkan bola jauh ke lini depan. Tercatat ia punya 18 percobaan menendang bola lambung dari lini belakang, ditujukan kepada pemain sayap dan juga Emerson, bek kiri yang maju ke depan.

Leonardo Bonucci pengumpan bola panjang terbanyak di tim (Foto: Football Made Simple)

Satu-satunya kendala dalam permainan Italia itu adalah Inggris yang negatif dengan tiga bek tengah, dua bek sayap, serta dua gelandang yang melapis pertahanan. Dalam hal itu kualitas individu berpengaruh.

Chiesa dengan kelebihan duel satu lawan satu mampu melewati lawan, begitu juga Insigne dengan visi bermainnya kala mendapatkan ruang berkreasi, serta bola yang sulit direbut dari kaki Verratti dan Jorginho.

Italia juga ‘dimudahkan’ dengan pola serangan Inggris yang terbaca. Dalam penguasaan bola John Stones kerapkali menjadi penyuplai bola dari lini belakang, tetapi Inggris memilih memadatkan tengah permainan untuk mengantisipasi potensi serangan balik Italia.

Saat menguasai bola Mount dan Sterling turun menjemput bola, menyisakan Kane melawan dua bek yang sudah punya chemistry kuat karena sudah berduet bersama dan bermain di Juventus. Posisi itu menyulitkan Kane yang tak mencatatkan satu tendangan dan bahkan assist.

Inggris kala menguasai penguasaan bola (Foto: Football Made Simple)

Serangan sayap Inggris yang bermuara pada Shaw serta Trippier juga dimentahkan baik oleh dua full-backs Italia. Tak ayal dengan permainan seperti itu, Italia bisa dengan mudah mendominasi penguasaan bola (dan sejauh ini hanya direpotkan oleh Spanyol di fase semifinal).

"Kami sebenarnya ingin memainkan gaya sepak bola kami juga melawan Spanyol, mereka cuma tampil baik untuk membatasi kami,” tutur Mancini.

Pertahanan Inggris memang kuat dan baru kebobolan satu gol, mereka menerima hanya tiga tendangan tepat sasaran di fase grup.

Itu dibantu juga dengan Phillips dengan 93 tekanan yang dilakukan pada statistik di awal Juli ini atau 36 tekanan Rice, tetapi permainan pragmatis Southgate hanya menyiakan bakat ofensif di tim Inggris.

"Tentu saja, ya. Kami telah mendengar itu (Football Is Coming Home) sejak Rabu malam, ketika mereka mengalahkan Denmark untuk mencapai final.”

“Maaf untuk mereka, tapi itu terjadi di tempat lain. Itu naik pesawat besar dan pergi ke Roma. Kami percaya pada ini, kami mendapatkannya dan sekarang benar kami merayakannya,” tutur Bonucci.

Coba lagi tahun depan ya, Inggris, di ajang Piala Dunia 2022.

Simak Rangkuman keseruan Piala Eropa 2020 di sini

Breaking News Analisis Timnas Inggris Timnas Italia Piala Eropa 2020 Piala eropa
Ditulis Oleh

Arief Hadi

Posts

15.479

Berita Terkait

Liga Indonesia
Arkhan Fikri Sangat Kesal Terhadap Kinerja Wasit Heru Cahyono saat Melawan Persis
Persis Solo pada akhirnya bisa mencetak gol di menit ke-92 lewat sepakan Gervane Kasteneer.
Tengku Sufiyanto - Senin, 29 September 2025
Arkhan Fikri Sangat Kesal Terhadap Kinerja Wasit Heru Cahyono saat Melawan Persis
MotoGP
MotoGP Indonesia 2025 Siap Digelar di Sirkuit Mandalika, 2 Kategori Tiket Sudah Sold Out
Dua kategori yang sudah terjual habis ialah dari kategori Deluxe dan Royal Box Premium.
Tengku Sufiyanto - Senin, 29 September 2025
MotoGP Indonesia 2025 Siap Digelar di Sirkuit Mandalika, 2 Kategori Tiket Sudah Sold Out
Spanyol
Real Madrid Berencana Rekrut Dua Bintang Chelsea Sekaligus
Real Madrid dikabarkan memantau dua gelandang Chelsea, Moises Caicedo dan Enzo Fernandez. Xabi Alonso ingin memperkuat lini tengah usai Toni Kroos pensiun dan Luka Modric hengkang ke AC Milan.
Johan Kristiandi - Senin, 29 September 2025
Real Madrid Berencana Rekrut Dua Bintang Chelsea Sekaligus
Inggris
Ruben Amorim Bukan Dalang Kehancuran Manchester United
Wayne Rooney menilai Ruben Amorim bukan satu-satunya penyebab krisis Manchester United. Menurutnya, para pemain juga harus bertanggung jawab atas performa buruk Setan Merah di Premier League.
Johan Kristiandi - Senin, 29 September 2025
Ruben Amorim Bukan Dalang Kehancuran Manchester United
Ragam
3 Alasan AC Milan Tidak Akan Meraih Scudetto Meskipun Tampil Meyakinkan di Awal Musim
AC Milan tampil impresif di awal musim Serie A 2025/2026 dan sempat puncaki klasemen. Namun, ada 3 alasan mengapa Rossoneri diyakini sulit meraih Scudetto musim ini.
Johan Kristiandi - Senin, 29 September 2025
3 Alasan AC Milan Tidak Akan Meraih Scudetto Meskipun Tampil Meyakinkan di Awal Musim
Liga Champions
Jadwal Lengkap Matchday 2 Liga Champions 2025-2026, Barcelona Tantang PSG, Jose Mourinho Kembali ke Stamford Bridge
Matchday 2 Liga Champions 2025-2026 bergulir tengah pekan ini. Sebanyak 18 pertandingan akan dimainkan mulai Selasa (30/9) hingga Kamis (2/10).
Yusuf Abdillah - Senin, 29 September 2025
Jadwal Lengkap Matchday 2 Liga Champions 2025-2026, Barcelona Tantang PSG, Jose Mourinho Kembali ke Stamford Bridge
Liga Champions
Kairat vs Real Madrid: Mencari Mangsa Ke-112
Real Madrid akan menghadapi Kairat pada matchday 2 Liga Champions 2025/2026 di Stadion Sentral Almaty. Los Blancos berpeluang menorehkan kemenangan atas tim ke-112 dalam sejarah Liga Champions.
Johan Kristiandi - Senin, 29 September 2025
Kairat vs Real Madrid: Mencari Mangsa Ke-112
Italia
Luka Modric Ungkap Motivasi Terbesar di Balik Penampilan Impresif di Usia 40 Tahun
Di usia 40 tahun, Luka Modric menjadi salah pemain kunci saat AC Milan mengalahkan Napoli.
Yusuf Abdillah - Senin, 29 September 2025
Luka Modric Ungkap Motivasi Terbesar di Balik Penampilan Impresif di Usia 40 Tahun
Italia
Inter Milan Telah Tentukan Masa Depan Manuel Akanji
Inter Milan dikabarkan puas dengan performa Manuel Akanji. Nerazzurri siap mengaktifkan opsi pembelian €15 juta dari Manchester City sebelum musim berakhir.
Johan Kristiandi - Senin, 29 September 2025
Inter Milan Telah Tentukan Masa Depan Manuel Akanji
Italia
Masuk Buku Sejarah Inter Milan, Perkembangan Pesat Pio Esposito Kejutkan Cristian Chivu
Francesco Pio Esposito berhasil mengukir namanya dalam buku sejarah Inter Milan setelah mencetak gol pertamanya di Serie A.
Yusuf Abdillah - Senin, 29 September 2025
Masuk Buku Sejarah Inter Milan, Perkembangan Pesat Pio Esposito Kejutkan Cristian Chivu
Bagikan