Sindrom Caretaker Ole Gunner Solskjaer di Manchester United
BolaSkor.com - "Ini pekerjaan yang selalu saya impikan dan saya sangat senang memiliki peluang untuk memimpin klub dalam jangka waktu panjang. Semoga saja kesuksesan terus berlanjut karena fans kami sangat hebat dan layak menerimanya,"
Kata-kata tersebut diucapkan oleh Ole Gunnar Solskjaer pada akhir Maret lalu ketika diangkat jadi manajer tetap Manchester United. Kendati United baru menelan kekalahan pertama di liga dan tersingkir dari Piala FA oleh Wolverhampton Wanderers, manajemen tetap memenuhi tuntutan fans untuk mengontraknya secara permanen.
Pro-kontra mengiringi penunjukkan Solskjaer yang dianggap terlalu cepat, meski faktanya di bawah asuhan legenda United medio 1996-2007 itu, tim meraih 14 kali kemenangang, dua hasil imbang, dan kalah tiga kali di seluruh kompetisi dengan rasio kemenangan 73,7 persen.
Baca Juga:
Everton 4-0 Manchester United: Pelengkap Luka The Red Devils
Kebobolan 17 Gol, "Efek" Solskjaer di Man United yang Tidak Lebih Baik dari Mourinho
Dilumat Everton, Solskjaer Beri Pernyataan Tegas kepada Pemain Manchester United
Solskjaer melakukan semua itu dengan minimnya kemampuan melatih dan hanya datang dengan modal status legenda klub. Manajer asal Norwegia mulai ditunjuk sebagai manajer caretaker (sementara) menggantikan Jose Mourinho pada Desember 2018.
Pada awalnya semua berjalan baik saja. United bersaing masuk empat besar Premier League (zona Liga Champions) dan menembus perempat final Liga Champions, menyingkirkan PSG (Paris Saint-Germain) dengan dramatis di Paris.
Akan tapi, selayaknya 'air ajaib' yang ada di film "Space Jam", efek yang diberikan Solskjaer lambat laun pudar. Air ajaib itu ada pada satu momen dalam film Space Jam, ketika Bugs Bunny memberikan botol minuman dengan tulisan air super untuk memotivasi rekan setimnya.
Para rekan setimnya percaya itu air super, meminumnya, dan sempat menampilkan performa hebat yang hanya berlangsung ... sementara waktu, sebelum mereka menyadari jika itu air biasa dan pada akhirnya mereka tahu hanya kerja keras yang bisa membantu tim mengalahkan lawan.
Analoginya tidak jauh berbeda dari cerita air ajaib itu. Solskjaer menghilangkan aura negatif yang sebelumnya menyelimuti atmosfer ruang ganti pemain United, memberikan Paul Pogba kesempatan bermain, memercayai seluruh pemain, tapi pada akhirnya pemain yang 'mengkhianati' Solskjaer.
Satu demi satu apa yang diutarakan Mourinho di masa lalu terlihat. Ketika The Special One membanggakan posisi runner-up United di Premier League 2017-18 dengan skuat yang tidak jauh berbeda dari saat ini, lalu membandingkan dengan pencapaian terkini, dapat dimaklumi ketika ia berkata sangat bangga dengan pencapaian terbesarnya itu.
Semenjak kalah 0-2 dari Arsenal pada 10 Maret 2019, United total menelan enam kekalahan dari delapan laga di seluruh kompetisi (dua kemenangan diraih susah payah melawan Watford dan West Ham United). Klimaks kekalahan itu terjadi di dua laga terakhir.
Kekalahan 0-3 dari Barcelona di Liga Champions dilanjutkan kekalahan telak 0-4 dari Everton di Goodison Park, Premier League. Kalah dengan jumlah kebobolan 0-7 dan tidak banyak melepaskan tendangan tepat sasaran.
Solskjaer sampai kehabisan kata menjelaskan buruknya penampilan United pasca kekalahan dari Everton.
"Sedari menit pertama segalanya sudah salah. Saya hanya ingin meminta maaf kepada fans. Mereka satu-satunya orang dengan badge hari ini yang mengangkat kepala tinggi karena kami tak bisa melakukannya," tutur Solskjaer kepada Sky Sports.
"Kami dikalahkan di seluruh aspek hari ini dan satu-satunya tempat kami mengalahkan Everton - saya tidak berkata saya mengalahkan mereka - tapi kami punya dukungan fantastis dan saya hanya ingin meminta maaf atas performa yang kami tampilkan."
"Kami tidak tampil bagus. Itu tidak layak disebut tim Manchester United. Performa itu tidak cukup bagus untuk tim seperti Manchester United, bagi saya hingga pemain, kami mengecewakan fans, kami mengecewakan klub. Performa itu sulit digambarkan karena sangat buruk," paparnya.
Melihat kemunduran performa United yang semakin terpampang nyata jelas akhir musim ini, publik mulai sepakat melabeli bahwa United mengalami sebuah sindrom bernama sindrome caretaker
Sindrom Caretaker Manchester United
Bukan cerita baru sebenarnya ketika membahas sindrom manajer caretaker di Inggris yang punya catatan bagus saat masih ditunjuk sementara waktu, lalu melempem dengan sejumlah periode negatif ketika ditunjuk jadi manajer permanen.
Craig Shakespeare dan Glen Roeder pernah memperlihatkannya di Leicester City dan Newcastle United. Kini, United tengah melalui periode tersebut bersama Solskjaer. Jermaine Jenas, pemerhati sepak bola Inggris, menilai United terburu-buruk mengangkat Solskjaer sebagai manajer tetap.
"Saya merasa itu adalah keputusan yang emosional dan dalam bisnis apa pun itu harus menjadi keputusan logis yang matang untuk jangka panjang," ucap Jenas.
"Pep Guardiola datang ke Manchester City tanpa menanyakan 'apa yang dilakukan (Roberto) Mancini dan (Manuel) Pellegrini untuk memenangi liga?' Dia masuk dan melakukan apa yang ingin dia lakukan."
"Jurgen Klopp melakukan itu di Liverpool, ia memiliki gayanya sendiri. Itulah yang dibutuhkan United."
"Saya rasa Man United tidak perlu mencoba dan menemukan seseorang yang bisa mendekati apa yang telah dilakukan (Sir Alex) Ferguson, mereka perlu menemukan (identitas baru). Mourinho mencoba melakukan itu tetapi klub tidak setuju," terangnya.
Lambat laun apa yang diutarakan oleh Mourinho beberapa waktu lalu, setelah dipecat United, menjadi kenyataan.

"Apakah Fulham bisa mendapatkan manajer yang lebih baik ketimbang Claudio Ranieri? Tidak sama sekali. Lalu, apakah Anda bisa membandingkan pengalaman yang didapat Ranieri dan Parker - yang notabene baru akan menukangi sebuah klub untuk pertama kali sepanjang kariernya? Tidak," tutur Mourinho.
"Terkadang, di dunia sepak bola, Anda bisa melihat beberapa contoh lain. Mantan klub saya (Manchester United yang menunjuk Ole Gunnar Solskjaer sebagai interim). Ya, memang ada beberapa hal positif. Tetapi, saya tak yakin jika perubahan yang terjadi di Old Trafford akan berlangsung lama dan untuk jangka waktu yang panjang."
Sindrom manajer sementara yang terjadi di United ini termakin terlihat dari perbedaan berbalik 180 derajat: ketika Solskjaer masih jadi manajer caretaker dengan manajer permanen. Kala masih menjadi manajer sementara Solskjaer punya rasio kemenangan 73,7 persen, sementara saat ini hanya 33,3 persen.
Permainan United juga monoton dan tidak terarah. Persis seperti yang dikatakan eks manajer United medio 2016-2018, Louis van Gaal, melalui teori yang memperlihatkan taktik Solskjaer saat ini sangat defensif seperti halnya Mourinho.
"Saya telah menyaksikan tim, karena saya selalu melihat United dan masih menantikannya, dan Ole parkir bus melawan Arsenal. Dia melakukannya lagi melawan Tottenham di liga, begitu juga saat melawan Paris Saint-Germain (PSG) dan Barcelona di Liga Champions," tambah Van Gaal.
"Dia bermain melawan seluruh tim besar seperti itu. Empasisnya lebih bertahan ketimbang ofensif atau menginginkan sepak bola yang dominan. Saya sesungguhnya menyebut itu parkir bus. Ole tidak melakukannya di luar area 18 meter. Dia parkir bus tepat di depan David De Gea."
"United telah memainkan anti-sepak bola, seperti yang telah saya katakan, tapi saya pikir Ole tidak takut memainkan taktik parkir bus - dia lebih defensif daripada yang Anda pikirkan."
"Ketika United bermain dengan cara itu, mereka bermain 4-4-2 dan memainkan serangan balik dengan Marcus Rashford dan Romelu Lukaku. Mereka berjudi kepada kecepatan kedua pemain itu karena mereka lebih cepat dari lawan ketika memiliki ruang," terangnya.
Nasi telah menjadi bubur. Man United sudah terjebak dalam sindrom caretaker lelaki yang merupakan legenda klub, manajemen menunjuknya karena fans menyukainya, dan kini sudah menjadi tugas mereka untuk terus mendukung Solskjaer dengan durasi kontrak yang diberikan (tiga tahun).
Solskjaer, yang selalu dikenal dengan reputasinya sebagai Baby Face Assassin, kepribadian yang tenang dan kalem, juga telah memberi peringatan tegas kepada anak-anak asuhnya: tingkatkan performa atau pergi di musim panas mendatang.
"Anda harus bertanya kepada mereka. Saya telah bertanya kepada mereka. Tentu saja jika Anda ingin bermain di klub ini, Anda harus memberikan hal yang lebih lagi," tegas. Solskjaer.
"Saya ingin tim saya jadi tim pekerja keras terhebat di liga, itulah kami di bawah asuhan Sir Alex (Ferguson) - (Ryan) Giggs, Becks (David Beckham), Gary Neville, Denis (Irwin) - tidak peduli seberapa banyak talenta yang Anda miliki, Anda berlari lebih banyak dari pemain lainnya."
"Anda tak bisa mengubah keseluruhan skuat Anda. Satu langkah tiap waktunya. Saya akan sukses di sini dan ada pemain-pemain yang tidak akan jadi bagian kesuksesan itu," urainya.