Sosok Indonesia

Simon Mcmenemy: Pelatih Underrated asal Britania Raya dengan Visi Mengubah Pemikiran Klub-klub Inggris

Arief Hadi - Sabtu, 10 Maret 2018

BolaSkor.com - PT Liga Indonesia Baru telah mengumumkan tanggal 23 Maret 2018, sebagai awal dimulainya Liga 1 musim 2018. Pertandingan antara juara bertahan, Bhayangkara FC, melawan juara Piala Presiden 2018, Persija Jakarta, akan mengawali laga perdana Liga 1 musim ini.

Menarik untuk dinanti, apakah Bhayangkara yang sudah ditinggal Evan Dimas Darmono, Ilija Spasojevic, dan Ilham Udin Armaiyn, mampu menjaga kualitas bermain dalam upaya mempertahankan titel Liga 1. Ujian sesungguhnya bagi Simon McMenemy, pelatih Bhayangkara, akan dimulai musim ini.

McMenemy telah memecahkan rekor pelatih asal Britania Raya pertama yang menjuarai Liga 1, atau divisi teratas dalam kasta sepak bola Indonesia. Kesuksesannya diraih berkat tangan dinginnya dalam memoles skuat dengan materi pemain yang ada. Memaksimalkan potensi skuat memang menjadi kelebihan pelatih kelahiran Aberdeen, 6 Desember 1977 itu.

Pada tahun 2010 di ajang Piala AFF, McMenemy ditugaskan membawa Timnas Filipina melaju sejauh mungkin di turnamen terbesar se-Asia Tenggara tersebut. Baru sebentar mengenali skuatnya, McMenemy sudah langsung tahu memaksimalkan permainan The Azkals dengan menjadikan duo Younghusband, James dan Phil, sebagai nyawa permainan di lini tengah dan depan Filipina.

McMenemy membawa Filipina menerjang seluruh prediksi miring hingga mencapai fase semifinal, sebelum kalah oleh Indonesia. Kendati kalah, seperti halnya Islandia di Euro 2016, Filipina disambut hangat ketika pulang ke kampung halaman.

Simon McMenemy bersama Timnas Filipina (Twitter Simon McMenemy)

"Kami hanya menyadari perubahan sudut pandang ketika hal itu terjadi, kala kami kembali. Ada banyak orang dengan jumlah besar yang menyapa kami di bandara. Kamera di mana-mana, semuanya melakukan sesi wawancara. Ini terasa seperti kelahiran olahraga baru di Filipina. Benar-benar mengubah sudut pandang terhadap sepak bola," ucap McMenemy mengenang perjalanannya yang singkat bersama Filipina.

"Dalam kurun waktu enam atau tujuh tahun semenjak hal itu terjadi, sepak bola menggila. Sekarang ada liga profesional yang berjalan baik, dan juga klub yang memenangi liga lolos kualifikasi Liga Champions Asia. Semua itu terbentuk dari sukses kami. Kami seperti bola salju yang didorong dari puncak."

Sayang, kerja sama McMenemy dengan Filipina hanya bertahan sebentar. Meski tidak lama, warisan dari McMenemy akan selamanya dikenang publik Filipina. Pasca meninggalkan Filipina di tahun 2010, McMenemy sempat melatih Dong Tam Long An dan akhirnya di tahun 2011, merasakan hutan rimba Kalimantan ketika melatih Mitra Kukar.

Untuk kali pertamanya, McMenemy merasakan atmosfer sepak bola Tanah Air, termasuk derby panas yang dikenal sebagai Derby Mahakam kontra Pusamania Borneo FC. Ia mengenang baik pertandingan tersebut, termasuk kala suporter menyerbu lapangan pertandingan dan bentrok dengan polisi.

"Menjelang akhir laga, wasit memberikan lawan kami sepak pojok. Lalu, suporter menyerbu lapangan karena mereka berpikir, ada handball dan seharusnya penalti. Polisi perlahan mampu mengirim mereka kembali ke tribun - dan kemudian wasit mengubah pikiran dan memberikan penalti. Kiper kami melakukan penyelamatan, dan tentu saja, ada serbuan lainnya dari fans. Benar-benar rusuh," terang McMenemy.

"Kami terdorong ke lapangan tengah dan polisi bersenjata mengepung kami dengan kerusuhan dengan skala besar, yang melibatkan 15.000 fans, terjadi di sekitar kami. Hanya hari lainnya di Liga Indonesia!"

Kapok kah, McMenemy? Tidak juga. Laiknya Mel Gibson dalam film "Braveheart", jiwa Skotlandia McMenemy justru semakin tertantang untuk meraih sukses di Indonesia. Selang empat tahun dari masa terakhirnya melatih Mitra Kukar, McMenemy melatih Pelita Bandung Raya, New Radiant, Loyola Meralco Sparks, dan akhirnya direkrut Bhayangkara.

Bhayangkara, Leicester-nya Indonesia?

Kisah cinderella Leicester City kala menjuarai Premier League 2015/16 takkan bisa dihapuskan dalam sejarah sepak bola Inggris. Tidak ada yang memprediksi mereka sebagai kandidat juara Premier League, melainkan sebagai tim yang bertarung di zona degradasi.

Claudio Ranieri, manajer Leicester, merupakan aktor di balik kesuksesan Leicester dengan caranya memaksimalkan skuat berdasarkan pada pemain seperti N'Golo Kante, Danny Drinkwater, Robert Huth, Riyad Mahrez, dan Jamie Vardy. Leicester bermain sederhana dan efektif: membentuk pertahanan yang kuat, lalu melancarkan serangan balik dengan efisiensi yang tinggi dalam mengonversi peluang menjadi gol.

Kisah yang diukir Leicester itu pun disamakan dengan Bhayangkara di musim 2017. Tidak ada yang menduga, Bhayangkara akan keluar sebagai juara di atas tim-tim tradisional seperti PSM Makassar, Persija Jakarta, Persib Bandung, dan Persipura Jayapura.

Terlebih, McMenemy tidak menerapkan filosofi bermain seperti Ranieri yang fokus membangun serangan, setelah pertahanan tim terbentuk dengan baik. Bhayangkara bermain menghibur dengan penguasaan bola dan permainan ofensif.

"Tidak ada yang menyangka kami akan bertarung merebutkan titel, tapi saya takkan berkata bahwa ini cerita Leicester City lainnya. Kami bukan tim yang mengandalkan serangan balik - kami bermain atraktif dan mendominasi laga. Kepercayaan para pemain selalu ada di sana dan ketika musim tinggal menyisakan beberapa laga lagi, kami berada di puncak klasemen dan bertarung keras untuk tetap ada di sana," tutur McMenemy.

Simon McMenemy (Akun Instagram Bhayangkara FC)

Pergerakan transfer mereka bahkan tidak heboh seperti contoh, Persib yang merekrut Michael Essien sebagai marquee player, serta Madura United dengan Peter Odemwingie. McMenemy lebih memilih mendatangkan pemain yang dapat langsung menyesuaikan dirinya dengan permainan tim, ketimbang pemain berkualitas, namun memerlukan proses adaptasi bermain di Indonesia.

Salah satu keberhasilannya adalah merekrut alumni akademi Sporting Lisbon yang seangkatan dengan Cristiano Ronaldo, Paulo Sergio. Dia menjadi ruh permainan Bhayangkara bersama Evan Dimas dan Ilham Udin.

"Di periode pertama saya di Indonesia, saya mendatangkan Marcus Bent dari Birmingham. Dia pria yang hebat, kuat, tapi dia butuh banyak waktu di dalam dan luar pertandingan, karena dia baru di Indonesia dan memahami lingkungan baru itu sulit. Saya tak ingin mengulanginya lagi - mengapa saya mendatangkan Robin van Persie, jika Anda harus fokus sepanjang waktu membantunya beradaptasi di Indonesia? Tidak adil untuk pemain lainnya," papar McMenemy.

Tim juara Liga 1 2017 (Akun Instagram Bhayangkara FC)

Saat ini, seiring kepergian pemain-pemain andalan musim lalu, McMenemy kembali dituntut mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam meracik skuat Bhayangkara yang banyak diperkuat rekrutan anyar semisal: Vendry Mofu, Marinus Wanewar, Herman Dzumafo, Nurhidayat Haji Haris, Maldini Pali, Vladimir Vujovic, dan David da Silva.

Memberikan penilaian langsung atas performa McMenemy melalui laga melawan Persija akan terlalu prematur. Namun, untuk sekilas, akan terlihat kesiapan Bhayangkara dalam mempertahankan titel mereka. Persis seperti julukan Bhayangkara, The Guardians, yang artinya penjaga atau pelindung.

Pelatih Underrated asal Britania Raya

Membandingkan McMenemy dengan nama-nama sekaliber Brendan Rodgers, Sir Alex Ferguson, David Moyes, jelas tidak adil. Perbandingannya tidak berimbang. Namun, McMenemy memiliki misi mulia untuk mengubah pandangan klub-klub asal Britania Raya, khususnya Inggris, melalui kinerjanya nun jauh di Asia.

"Saya sejujurnya tidak peduli jika di rumah sana tidak ada yang mengenal saya, tapi saya berpikir ada masalah fundamental dengan budaya. Ada banyak pelatih muda yang sakit hati, yang tidak dilihat karena masih adanya pemikiran lama, akan sirkulasi pelatih yang hanya bertukar posisi."

"Di mana darah baru? Kenapa kami tidak belajar dari negara seperti Jerman, di mana pelatih muda bisa muncul dan menikmati sukses tiap tahunnya?. Beberapa tahun lalu, saya mengirim CV saya ke pekerjaan di Clyde dan berbicara kepada pemilik klub di telepon. Dia berkata: 'Ini sangat impresif, tapi Anda tak melakukan apapun di Skotlandia'. Saya menerimanya karena dia berbicara fakta, tapi saya bisa membawa timnas ke hadapan 90.000 penonton di semifinal."

"Semoga saja waktunya telah tiba ketika saya bisa menempatkan CV untuk pekerjaan yang ditinggalkan manajer Inggris yang pensiun, dan orang berpikir: 'Orang ini sudah melakukan banyak hal - mari berikan dia kesempatan'. Saya tahu nama saya tidak populer - tapi mungkin suatu hari pengalaman sepak bola saya akan membantunya," harap McMenemy.

Jalan masih panjang bagi McMenemy. Pada usia 40 tahun -yang relatif muda untuk pelatih- McMenemy bisa mewujudkan harapan, atau mungkin visi tersebut, jika reputasinya berbicara lebih banyak di negeri lain.

Bagikan

Baca Original Artikel