Analisis Liga Indonesia Indonesia

Pemecatan Pelatih Liga 1 2019: Serunya Kompetisi atau Kolotnya Suporter dan Manajemen Klub?

Tengku Sufiyanto - Selasa, 13 Agustus 2019

BolaSkor.com - Liga 1 2019 sudah berjalan hampir mendekati satu putaran. Kompetisi kasta tertinggi sepak bola Tanah Air ini sudah berjalan hingga pekan ke-13.

Namun, hampir sebagian klub peserta sudah mengganti pelatihnya. Sudah ada 8 pelatih yang dipecat. Mereka adalah Ivan Kolev, Jackson Tiago, Aji Santoso, Luciano Leandro, Syafrianto Rusli, Jan Saragih, Jafri Sastra, dan Djadjang Nurdjaman.

Hal ini menjadikan Liga 1 sebagai kompetisi kasta tertinggi sepak bola di suatu negara yang paling "kejam". Kejam dalam arti serunya kompetisi atau memang kolotnya suporter dan manajemen klub?

Baca Juga

PSSI Berusaha Juara Liga 1 Bisa Tampil di Liga Champions Asia

PSSI Gandeng Australia untuk Bidding Tuan Rumah Piala Dunia 2034

Ivan Kolev
Pelatih Ivan Kolev saat menangani Persija. (persija.id)

Contohnya, Ivan Kolev yang sudah dipecat manajemen Persija Jakarta meski baru menjalani beberapa laga. Persija memang alami masa buruk sebagai juara bertahan. Mereka terperosok ke zona degradasi.

Terakhir, ada Djadjang Nurdjaman yang performanya tidak buruk-buruk sekali bersama Persebaya Surabaya, dan Jafri Sastra bersama PSIS Semarang. Akan tetapi, memang Persebaya dan PSIS inkonsisten.

Kolotnya Suporter

Kolotnya Suporter

Beberapa pemecatan pelatih yang terjadi di Liga 1 2019 dikarenakan dorongan suporter. Suporter seperti ingin hal instan timnya bisa berprestasi.

Contoh nyata beberapa suporter masuk ke lapangan kecewa dengan peforma timnya. Padahal, mereka secara tidak langsung merugikan klub, lantaran bakal terkena sanksi Komisi Disiplin (Komdis) PSSI.

Lalu mereka melakukan boikot pertandingan, lantaran timnya mengalami performa buruk. Menuntut manajemen melakukan pemecatan pelatih, sebagai dalang utama timnya terperosok ke jurang. Timnya pun dirugikan dari pemasukan keuangan hingga dukungan moral secara langsung.

Mereka seharusnya berpikir dewasa, di mana materi pemain juga harus seimbang dengan target. Tidak semata-mata materi pemain pas-pasan, suporter ingin timnya menang terus-menerus.

Baca Juga:

Beri Bonus kepada Pemain PSS Sleman, Suporter Klub Indonesia Harus Tiru BCS

PSS Sleman Dapat Pengalaman Baru dari Markas Badak Lampung Selain 3 Poin

PSIS Semarang
Striker PSIS Silvio Escobar (biru) dibayangi pemain Persipura. (BolaSkor.com/Ahmad Rizal)

Tanpa mengurangi rasa hormat, contoh nyata ada di suporter PSIS. Terakhir, PSIS dikalahkan Persipura Jayapura 3-1, sekaligus kekalahan ketiga di kandangnya.

Suporter turun ke lapangan. Hal itu mendorong manajemen PSIS memecat Jafri Sastra. Suporter memang pasti kecewa timnya kalah, namun harus bersikap positif. PSIS belum teperosok ke papan bawah, dan materi pemain jelas kalah dari Persipura jadi wajar jika kalah.

Jadi, hilangkan stigma ingin menang terus dalam pertandingan. Ingat ini kompetisi, suporter harus bersikap positif dan percaya proses terhadap peforma timnya.

Kecuali timnya terperosok ke jurang degradasi dengan materi pemain bagus, baru luapkan kekecewaan kalian. Ataupun klub kalian masuk jurang degradasi, harus evaluasi agar tidak terhindar degradasi.

Contoh baik ada di kelompok suporter PSS Sleman, Brigata Curva Sud (BCS). Mereka tidak semata-mata menggulingkan Seto Nurdiantoro, ketika mendapat tiga kali berturut-turut hasil imbang (Semen Padang, Persipura, dan Bhayangkara FC dengan masing-masing skor 1-1).

Mereka justru membuat koreografri menunjukkan dukungan kepada Seto untuk membangun PSS. Alhasil, PSS masih kokoh di posisi empat besar klasemen sementara Liga 1 2019. BCS pun apresiasi kinerja para pemain tim Super Elang Jawa dengan memberikan bonus.

Kolotnya Manajemen Klub

Kolotnya Manajemen Klub

Tak hanya suporter, terkadang manajemen klub juga bersifat kolot dalam menyikapi buruknya peforma tim. Manajemen seperti kehabisan akal menyikapi dorongan suporter. Alhasil, pelatih jadi korban. Padahal, peforma sang pelatih tidak buruk-buruk amat.

Manajemen tak berkaca diri dalam mendatangkan pemain. Pemain datang duluan di saat pelatih belum datang. Seakan-akan tidak ada koordinasi.

Di mana, ada pemain yang memang diinginkan pelatih untuk timnya. Namun, ada pemain yang didatangkan sesuai keinginan manajemen. Ada beberapa oknum manajemen klub di Indonesia seperti mencampuri urusan taktikal pelatih.

Baca Juga:

Beri Bonus kepada Pemain PSS Sleman, Suporter Klub Indonesia Harus Tiru BCS

PSS Sleman Dapat Pengalaman Baru dari Markas Badak Lampung Selain 3 Poin

Manchester United
(Twitter Manchester United)

Contoh Nyata Proses Ada di Manchester United

Mereka seharusnya bisa belajar dari Manchester United. Pada tahun 1986, Sir Alex Ferguson didatangkan. Di awal-awal karier, Sir Alex Ferguson membangun Man United dengan peforma pas-pasan. Hampir terdegradasi.

Buahnya baru dipetik 1990-an, Sir Alex yang diambang pemecatan berhasil membawa Manchester United menjadi juara Piala FA.

Selanjutnya dalam 26 tahun, Sir Alex Ferguson mempersembahkan banyak trofi bagi Manchester United. Dia membawa Man United membalap Liverpool menjadi klub tersukses yang menjuarai Liga Inggris dengan 20 trofi.
Salah satu kesuksesannya juga membawa Manchester United menjadi juara Liga Champions.

Hal yang bisa dipetik dari Manchester United jelas prestasi bisa meningkatkan bisnis tim. Prestasi lahir tidak dengan cara instan, dalam hal pembinaan, pembelian pemain, dan materi pelatih.

Suporter, manajemen, pelatih, pemain, dan seluruh stakeholders klub harus saling sinergi dan bersifat terbuka. Membangun tim dengan penuh keyakinan dan kesabaran. Bukan secara instan.

Bagikan

Baca Original Artikel