Sosok Feature Berita

Kisah Perjalanan Memilukan Neil Etheridge, Kiper ASEAN Pertama yang Akan Bermain di Premier League

Arief Hadi - Rabu, 09 Mei 2018

BolaSkor.com - Cardiff City hanya butuh waktu empat tahun untuk mengumpulkan kekuatan dan kembali ke kasta teratas sepak bola Inggris, Premier League. Selama empat tahun berkutat di Championship, divisi kedua sepak bola Inggris, Cardiff sudah banyak mengalami perubahan. Baik itu dari pemain skuat hingga manajer tim.

Kesabaran petinggi klub kepada Neil Warnock, manajer berusia 69 tahun yang ditunjuk menggantikan Russell Slade, terbayar lunas musim ini. Bersama Wolverhampton Wanderers, Cardiff menjadi tim promosi Premier League untuk musim 2018/19. Satu tempat lagi masih akan direbutkan Fulham, Aston Villa, Middlesbrough, dan Derby County melalui fase play-off.

Kiprah The Bluebirds - julukan Cardiff - untuk promosi ke Premier League jauh lebih hebat dari Wolves. Bukan karena mereka tampil lebih baik atau memiliki skuat yang lebih baik, melainkan kerja keras Cardiff dalam membangun skuat yang kompetitif. Tidak seperti Wolves yang memiliki bintang seperti Ruben Neves, Cardiff hanya memiliki pemain berpengalaman dengan level bermain yang relatif biasa seperti Aron Gunnarsson, Greg Halford, Joe Bennett, Armand Traore, dan Anthony Pilkington.

Hanya ada satu kesamaan dalam skuat Cardiff saat ini: determinasi yang disatukan dengan kolektivitas bermain. Cardiff meraih tiket promosi pasca meraih hasil imbang tanpa gol melawan Reading, sementara Fulham kalah 1-3 dari Birmingham City. Cardiff pun sukses finish di bawah Wolves.

"Kami menghabiskan uang (di bursa transfer) dengan bijak. Kami ingin belajar dari Leicester City dan juga belajar dari hal yang telah dilakukan Burnley. Mungkin Crystal Palace dan tim lain, mereka bertahan di Premier League. Mereka tidak membeli pemain dengan harga yang gila, hal ini semakin menyulitkan pemilik klub," tutur Presiden Cardiff, Vincent Tan.

"Kami tidak akan menghabiskan uang seperti lima-enam klub top. Kami akan membelanjakannya dengan masuk akal dan akal sehat. Semoga saja, kami diberkahi dan menemukan Jamie Vardy atau Riyad Mahrez lainnya."

Pernyataan Tan sudah menggambarkan kolektivitas bermain timnya yang tidak mengandalkan pemain bintang. Kolektif, determinan, pekerja keras, dan rendah hati. Keempat hal inilah yang mengidentifikasikan Cardiff. Keempatnya dimiliki oleh kiper berusia 28 tahun, Neil Etheridge.

Titik Nadir Neil Etheridge

Tahun 2010, Timnas Filipina menjalani kisah cinderella di bawah asuhan Simon McMenemy, yang kini melatih Bhayangkara FC. Tidak ada yang mengunggulkan mereka. Jangankan untuk menembus fase gugur, keluar grup saja tidak. Filipina berada di Grup B bersama negara kuat di Asia Tenggara seperti Vietnam, Singapura, dan Myanmar.

Mengandalkan duo Younghusband, Phil dan James Younghusband, McMenemy membawa Filipina keluar sebagai runner-up grup B. Pada semifinal Piala AFF, Filipina berjuang keras menghadapi Indonesia yang berstatus tuan rumah. Dengan sistem pertandingan dua leg, Filipina kalah dengan skor identik, 0-1, melalui gol yang dicetak Cristian Gonzales.

Filipina yang berstatus kuda hitam turnamen tersingkir dengan agregat gol 0-2 oleh Indonesia. Kendati tersingkir, kiprah mereka sangat diapresiasi masyarakat Filipina. McMenemy tidak menyangka sambutan kepada timnya di bandara sangat meriah, ketika mereka pulang ke Filipina. Timnas Filipina sudah dianggap laiknya pahlawan.

Dari pemain-pemain yang disambut antusiasme warga Filipina tersebut, ada satu nama yang saat itu masih berusia 20 tahun. Dia adalah Neil Etheridge. Status Etheridge masih terdaftar sebagai pemain Fulham, klub yang cukup populer di Inggris. Etheridge cukup ramai dibahas media pada 2010 silam dengan statusnya tersebut.

Kendati demikian, kisah perjalanan Etheridge nyatanya tidak semanis cerita dongeng, khususnya setelah bermain di Piala AFF 2010. Kesabaran Fulham dengannya sudah habis. Fulham tidak melihat adanya yang spesial dari kiper berdarah Filipina-Inggris tersebut, meski ia sudah empat kali "disekolahkan" di Leatherhead, Charlton Athletic, Bristol Rovers, dan Crewe Alexandra. Mereka pun melepasnya begitu saja pada tahun 2014.

Dari situ, karakter dan mental Etheridge benar-benar diuji. Oldham Athletic, klub yang berada di divisi keempat sepak bola Inggris, mau menampungnya. Di sana, Etheridge hidup dengan penghasilan kecil, sampai ia harus tidur di sofa temannya.

"Saya tinggal di sofa rekan setim ketika saya bermain di sana (Oldham). Tapi, inilah yang harus Anda lakukan untuk berlanjut (ke fase berikutnya)," ucap Etheridge. Tidak mudah hidup seperti itu, di usia yang relatif muda. Oldham tidak banyak memainkannya dan meminjamkannya ke Charlton Athletic.

Peruntungan Etheridge bersama Charlton pun tidak lebih baik dari masa-masanya di Oldham. Meski pada akhirnya mengontrak Etheridge sampai akhir musim 2014/15, Etheridge juga jarang bermain. Bahkan untuk berlatih, ia harus berkorban mengeluarkan uang dari penghasilannya sendiri.

"Membayar sendiri hanya untuk berlatih di Charlton Athletic. Saya sudah dekat menjadi pelatih kiper di sana. Jadi, saya hanya berlatih keras sebisa mungkin dan menanti," imbuh Etheridge. "Saya menjual rumah dan mobil saya, dan saya hanya tinggal selangkah lagi kembali ke Filipina."

Etheridge berada di titik nadir. Ia sudah hampir menyerah mencapai level tertinggi dalam karier profesionalnya di Inggris. Namun, takdir berkata berbeda. Walsall tertarik merekrutnya di tahun 2015, ketika usianya masih berumur 25 tahun. Sejak saat itu, peruntungan Etheridge berubah total.

Etheridge sering bermain reguler sampai kontraknya berakhir di Walsall dan Cardiff, menampungnya di tahun 2017 silam. Di bawah arahan Warnock, Etheridge berkembang dan merasakan jerih payah hasil perjuangannya merajut mimpi.

Musim ini, Etheridge telah mencatatkan 19 clean sheets dan mengubah mimpi jadi kenyataan. Untuk kali pertamanya dalam sejarah, ASEAN memiliki perwakilan di Premier League untuk musim 2018/19. Kiprah Etheridge akan sangat terus diperhatikan oleh pendukungnya yang berasal dari Filipina.

"Segala hal tersebut telah menjadi masa lalu saat ini, tapi semua itu tidak akan pernah meninggalkan saya, karena itu semua menjadikan saya seperti sekarang ini," tambah Etheridge.

"Bukan sepak bola namanya jika Anda tidak dikritik. Selalu ada yang meragukan dan orang akan mempertanyakan Anda sebagai pemain, tapi, Anda hanya harus melaluinya. Musim ini sangat fantastis untuk saya. Saya masih belajar dan saya jelas bukan artikel yang telah berakhir."

Kisah perjuangan yang patut ditiru. Etheridge tidak pernah menyerah merajut mimpi. Kisahnya bisa dijadikan inspirasi oleh siapapun, termasuk pemain Indonesia yang kelak bermimpi bermain di Premier League, liga terbaik dunia.

Bagikan

Baca Original Artikel