Ketika Liverpool Membiarkan Manchester United Menguasai Premier League
BolaSkor.com - Pada akhir 2002, Manajer Manchester United, Sir Alex Ferguson, berada di bawah tekanan. Atau, setidaknya itu yang digambarkan media.
Arsenal asuhan Arsene Wenger memenangi Premier League pada musim sebelumnya dan unggul enam poin dari Man United. Situasi tersebut membuat Ferguson berada di ujung tanduk.
Mantan bek Liverpool, Alan Hansen, mengklaim Ferguson menghadapi tantangan terbesar dalam kariernya. Namun, Ferguson merespons dengan cara berbeda.
"Tantangan terbesar saya bukan apa yang terjadi saat ini. Tantangan terbesar saya adalah menjatuhkan Liverpool dari tempat mereka," jelas Ferguson kepada The Guardian.
Baca Juga:
Mohamed Salah, 'Raja Mesir' yang Terus Mengukuhkan Status Legenda di Liverpool
Alasan Sadio Mane dan Mohamed Salah Tidak Akan Tinggalkan Liverpool
Legenda Manchester United: Liverpool Tidak Boleh Dapat Hadiah Gelar Juara

Pernyataan Ferguson tersebut bisa dimaklumi. Sebab, Manchester United memutus hegemoni Liverpool di sepak bola Inggris. Saat itu, Man United mengoleksi tujuh gelar kompetisi teratas di Inggris sejak kemenangan terakhir The Reds pada 1990.
Namun, Ferguson tidak benar-benar menjatuhkan Liverpool dari singgasana. Sebab, meroketnya prestasi The Red Devils hanya bertepatan dengan momen kejatuhan Liverpool.
Ketika Liverpool meraih gelar usai menekuk QPR 2-1 pada 28 April 1990, tidak banyak yang menyangka kejatuhan sudah di depan mata. Itu adalah gelar ke-18 Liverpool di mana 10 di antaranya diraih dalam 14 tahun sebelumnya.
Rupanya, apa yang terjadi di dalam tim tidak semanis yang terlihat dari luar. "Terakhir kali memenangi liga, kami mengalami kemunduran dibanding tim musim sebelumya," ujar bek serbaguna, Steve Nicol kepada the42.ie.
"Tidak mungkin kami bermain dengan gairah atau komitmen yang sama pada tahun itu. Itulah saat penurunan dimulai," sambungnya.
Ketenangan mental Liverpool untuk mempertahankan gelar bisa sangat besar. Namun, masalah utamanya adalah soal emosi.
Tragedi Hillsborough pada 1989 yang merenggut 96 nyawa suporter Liverpool telah memengaruhi pemain. "Tiga tahun kami tidak bisa mendapatkan fokus. Tiga tahun kami bermain dalam gelembung. Tiga tahun kami otopilot," jelas Nicol.
"Sulit menyadari itulah yang terjadi pada saat itu. Tidak ada yang tahu bagaimana cara mengatasinya dengan benar."
Satu di antara sosok yang terpukul paling telak adalah Kenny Dalglish. Pemain dan manajer legendaris tersebut berusaha menghibur keluarga korban hingga menghadiri empat pemakaman dalam sehari. Namun, dia menolak buka suara soal tragedi.
Dalglish membuat keputusan menggemparkan setelah mengundurkan diri sebagai manajer pada 22 Februari 1991. Itu hanya berselang dua hari usai bermain 4-4 melawan Everton di Goodison Park.
"Kami semua datang untuk latihan dan diminta bertemu di ruang ganti," kata Ian Rush kepada The Guardian. "Kenny masuk dan berkata dia akan pergi."
"Itu benar-benar kejutan di sana. Dia tidak bisa bicara terlalu banyak tetapi ada air mata di matanya saat dia berbicara."
Mental Dalglish sangat terpukul. Ia dikabarkan mencari jalan pintas dengan menenggak alkohol untuk menghilangkan rasa perih di dalam hati. Sang manajer juga menyuntik badannya untuk mengatasi ruam yang membuat tubuhnya kesakitan.
"Sebenarnya, saya ingin meninggalkan Anfield pada 1990, setahun sebelum akhirnya mengundurkan diri," ungkapnya dalam autobiografinya 'Dalglish'.
"Dalam 22 bulan antara Hillsborough dan pengunduran diri, ketegangan terus bertambah sampai akhirnya saya patah."
Dalglish kemudian mengaku menyesali keputusannya pergi. Demi kebaikan, ia bersedia untuk kembali setelah cuti dua minggu.
Namun, meskipun kepala eksekutif Liverpool Peter Robinson mengatakan pintu tetap terbuka, Dalglish tidak pernah dihubungi.
"Klub punya ide lain, jelas," kata mantan penyerang itu, "dan pergi ke arah lain," tambahnya.

Pengunduran diri Dalglish ditambah dengan pengangkatan Graeme Souness sebagai pengganti menjadi momen penting dalam kekeringan gelar Liverpool selama 30 tahun
"Jika berada di pihak mereka [Ferguson], saya juga akan mengatakan kepadanya, pertama, Manchester United tidak pernah menjatuhkan Liverpool dari tempat mereka, seperti yang ia katakan. Itu hanya omong kosong. Graeme Souness melakukan itu," ujar Jamie Carragher pada sejumlah media pada 2010.
"Ketika United merengkuh gelar pertama di bawah asuhan Ferguson pada 1992-1993, mereka bersaing dengan Norwich dan Aston Villa. Mereka tidak bersaing dengan Liverpool, bukan?"
Memang, Arsenal dan Leeds United secara bergantian memenangi dua gelar sebelumnya. Sementara itu, Liverpool berada pada uruutan keenam ketika format Premier League diperkenalkan. Itu adalah pertama kali The Reds menyelesaikan musim di luar dua teratas sejak 1981.
Sejatinya, Souness juga bukan tanpa pandangan positif. Ia mendapatkan pujian karena memberikan kepercayaan kepada pemain-pemain muda seperti Robbie Fowler, Steve McManaman dan Jamie Redknapp.
Akan tetapi, sebagian besar langkahnya di lantai bursa pemain adalah bencana. Steven Staunton, Ray Houghton, dan yang paling membingungkan, Peter Beardsley, dibuang terlalu dini. Keadaan memburuk karena pengganti yang datang tidak sepadan.
"Anda bisa merasakannya saat latihan," kata gelandang Jan Molby pada Goal. "Sebelumnya, kami berlatih pada level tinggi, tetapi terlihat beberapa pemain baru tidak bisa melakukan itu."
Paul Stewart menjadi satu di antara kegagalan terbesar dalam sejarah Liverpool, sementara lebih banyak uang dihabiskan untuk pemain seperti Nigel Clough, Mark Walters dan Torben Piechnik.
Penandatanganan Julian Dicks mungkin paling baik untuk menyimpulkan keyakinan keliru Souness pada keuletan dan teknik. Pada akhirnya, itu membuat sang manajer kehilangan pekerjaan.
Namun, kesalahan terbesar yang dibuat Souness selama bertugas adalah melakukan wawancara eksklusif dengan The Sun - sebuah surat kabar yang memboikot Merseyside karena liputannya tentang tragedi Hillsborough - setelah pemulihan dari operasi jantung pada April 1992.

Percikan api para pendukung Liverpool dengan Souness agak mereda dalam beberapa tahun terakhir. Ia sadar betul melakukan kesalahan.
"Saya menyesali keputusan (untuk melakukan wawancara dengan The Sun) selamanya. Saya tidak memiliki pembelaan," tutur Souness.
Sang manajer juga mengakui gagal kembali membangun kekuatan Liverpool. Pendekatan disiplin yang diterapkan terbukti kontraproduktif.
"Saya dibutakan oleh perasaan kepada Liverpool. Saya berdarap pemain merasakan hal yang sama dengan saya. Namun, dunia sudah berubah. Para pemain memegang lebih banyak kekuatan daripada manajer," ungkap Souness dalam buku Men in White Suits.
Hal lain yang membuat Liverpool semakin tertinggal dari Manchester United adalah dalam cara melebarkan sayap terkait komersial. The Red Devils memiliki orang-orang yang tepat untuk membuat Manchester United tidak hanya menjadi klub sepak bola.
"Liverpool tidak mau mengakui bahwa sepak bola telah menjadi bisnis," papar mantan pemain depan, Ronnie Rosenthal, di buku Men in White Suits. "Dewan hanya fokus pada sepak bola dan gagal."
"Ketua Manchester United Martin Edwards adalah seorang visioner dan dia bisa melihat bagaimana sepak bola berjalan," Rosenthal berpendapat.
Manchester United pun menjadi pelopor untuk hal-hal seperti tur pramusim ke luar negeri, perdagangan barang, dan penawaran sponsor. The Red Devils juga memanfaatkan siaran langsung oleh Sky TV dengan baik.
Terlepas dari kerja bagus yang dilakukan oleh manajer seperti Gerard Houllier dan Rafael Nanitez, Liverpool sudah jauh kalah langkah dari Manchester United soal perspektif komersial. Bahkan, keputusan Moores menjual klub kepada Geofe Gillet dan Tom Hicks pada 2007 hampir menghadirkan kebangkrutan dalam tempo tiga tahun kemudian.
Saat ini, Liverpool mulai mereparasi lubang-lubang yang terlihat. Bersama sang pemilik, Fenway Sports Grup, dan sang manajer, Jurgen Klopp, The Reds siap kembali siap merebut kembali tempat di puncak sepak bola Inggris.
Sir Alex Ferguson mungkin telah menorehkan tinta emas bersama Manchester United selama bertahun-tahun. Namun, kegagalan Liverpool untuk memukul balik sang lawan adalah karena kesalahan sendiri.