Hidetoshi Nakata, Propaganda Terbesar Jepang Sepanjang Sejarah Sepak Bola
BolaSkor.com - Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia dan Nippon cahaya Asia menjadi jargon utama yang diusung Jepang untuk merebut hati masyarakat Indonesia. Namun, di balik itu semua, deretan kata yang terlihat manis tersebut siap untuk menikam dari belakang.
Sejak awal punya niat busuk menguasai Indonesia, Jepang berlindung di balik propaganda Tiga A. Dengan mengandalkan kata pemimpin, pelindung dan cahaya, Jepang berhasil membuat masyarakat Indonesia menyambut dengan tangan terbuka.
Namun, setelah tiba di Tanah Air, Jepang justru tidak melaksanakan tiga janji tersebut. Jepang dengan kekuatan militernya menjajah Indonesia selama 3,5 tahun sebelum Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Setelah beberapa tahun berselang, Jepang kembali punya propaganda dahsyat. Akan tetapi, kali ini berada dalam ruang lingkup sepak bola. Meski bukan yang pertama, Hidetoshi Nakata membuat masyarakat dunia membelalakkan mata jika Jepang punya pemain kelas wahid.
Pada musim panas 2002, sepak bola Asia menjadi buah bibir usai pencapaian fantastis Jepang dan Korea Selatan di Piala Dunia. Tidak hanya sukses sebagai penyelenggara, kedua tim nasional itu juga berprestasi di lapangan.
Namun, sebelum Jepang dan Korea Selatan mencuri perhatian, sepak bola Asia praktis punya ingar bingar yang adem ayem. Tidak banyak momen bersejarah dalam sepak bola dunia yang melibatkan unsur Asia. Jikalau ada, Hidetoshi Nakata adalah sumbernya.
Baca juga:
Hakim Ziyech, Maestro dari Maroko Hasil Tempaan Sepak Bola Belanda
Dari Wonderkid, Iker Muniain Ingin Jadi One Man Club

Sepak bola Jepang mulai bersinar usai mengejutkan Brasil di Olimpiade 1996. Sayangnya, tim Samurai Biru terdepak pada babak penyisihan grup kendati meraih dua kemenangan dari tiga pertandingan.
Meskipun demikian, prospek sepak bola Jepang bersinar berkali-kali lipat usai lolos ke Piala Dunia 1998 Prancis. Itu merupakan debut Jepang pada turnamen empat tahunan tersebut. Pada kesempatan itu, Nakata mulai menancapkan tongkat di jagat sepak bola dunia.
Peran Nakata tidak bisa dikucilkan. Tidak hanya menjadi bagian tim pada Olimpiade 1996, ia juga menjadi pusat perhatian saat Takeshi Okada membawa Jepang mengarungi kualifikasi Piala Dunia yang sulit.
Saat itu, Nakata masih berusia 20 tahun. Kendati masih seumur jagung, sang gelandang sudah tampil dalam 11 pertandingan dengan torehan lima gol. Pada akhirnya, Jepang menang 3-2 atas Iran pada babak playoff.
Bintang muda Jepang tersebut mengukuhkan posisi sebagai pesepak bola Asia paling menjanjikan. Tanpa kontribusinya dalam perjalanan menuju Piala Dunia 1998, sepak bola Jepang diprediksi punya alur lebih berliku untuk mencapai level seperti saat ini.
Pada Piala Dunia 1998, Jepang menjadi bulan-bulanan dengan mengalami tiga kekalahan. Namun, lebih jauh daripada itu, Jepang telah memiliki propaganda terbesar yang siap diedarkan ke seluruh dunia.
Meskipun secara keseluruhan penampilan Jepang mengecewakan, namun penampilan individu Nakata sudah cukup menjadi magnet bagi klub Eropa melayangkan tawaran. Pada akhirnya, Nakata mengucapkan salam perpisahan untuk Bellmar Hiratsuka dan menuju klub Italia, Peruggia, awal Juli 1998.
Perjalanan awal Nakata untuk mengguncang sepak bola dunia akan dimulai. Ia bersiap untuk dikenal sebagai satu di antara gelandang yang paling piawai.
Pada kedatangannya, Nakata adalah satu-satunya pemain timnas Jepang yang meninggalkan J League dengan mahar hingga 4 juta euro. Tak pelak, media-media negeri Matahari Terbit itu tak henti mencetak wajah Nakata pada sampul depan.
Punya bakat dan pengalaman yang cukup, Nakata tidak mengecewakan Perugia. Debutnya berakhir manis usai mencetak 10 gol selama satu musim. Selain itu, Nakata juga menyabet penghargaan pemain terbaik Asia. Dengan catatan itu, Nakata menjadi produk ekspor dari Asia paling wangi di Eropa.
Menariknya, Nakata punya resep tak biasa di balik penampilannya yang mengagumkan. Nakata mengaku sering tidur sebelum bertanding.
"Saya sering tidur, bahkan di ruang ganti. Anda tahu, kami akan pergi satu setengah jam sebelum pertandingan. Kami punya waktu luang 30 hingga 40 menit dan itu terlalu lama. Saya biasanya membaca buku atau tidur," ujar Nakata.
Nakata dengan cepat menjadi satu di antara pemain yang paling impresif di sepak bola Eropa khususnya Italia. Enigma Jepang itu terus memukau para suporter di Stadio Renato Curi sebelum membuat langkah menuju sang pesaing, AS Roma.

Uang 21,6 juta euro yang dikucurkan Roma membuat Nakata menjadi pemain termahal di Asia. Namun, jumlah tersebut dirasa masuk akal mengingat nilai komersial dan daya tarik sang bintang akan menguntungkan Giallorossi.
Sejatinya, Nakata sudah punya pesona universal yang cukup besar. Namun, pindah ke ibu kota Italia itu membuat level popularitas sang pemain melesat ke tangga tertinggi. Pemain bernomor punggung 8 tersebut adalah impian dari tim pemasaran suatu klub.
Sosok Nakata yang unik memberikan ceruk untuk dieksploitasi. Nakata punya wajah yang tampan, pesona, dan pilihan gaya yang apik. Tak heran, banyak suporter yang dengan mudah menggelontorkan dana untuk membeli apa pun berkaitan dengan Nakata.
Bisa dibilang, selain David Beckham, Nakata adalah pemain paling dikenal di sepak bola dunia - dan tentu satu di antara komoditas paling menguntungkan.
Selain itu, pada saat Nakata sedang berada di puncak karier, momen itu bertepatan dengan meledaknya arus informasi melalui internet. Potensi keuntungan yang didapatkan dari Nakata semakin menggelembung.
Di puncak kemasyhurannya, keputusan untuk menolak wawancara terbukti menjadi masterpiece lain. Ketika mayoritas pemain menggunakan media mainstream sebagai corong informasi, namun Nakata justru meluncurkan situs pribadi.
Tak heran, situs Nakata.net menarik jutaan page view setiap pekan seiring semakin keranjingannya publik Jepang kepada sang pemain.
Grafik menanjak Nakata di luar lapangan tak lepas dari performa apik Nakata saat bermain. Hanya 18 bulan setelah bergabung pada revolusi Fabio Capello di Roma, Nakata menjadi pemain Jepang pertama yang merengkuh Scudetto.
Meski hanya tampil pada 15 pertandingan, namun Nakata memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi AS Roma. Hal itu terbukti dari aksi Nakata pada duel penentu melawan Juventus. Nakata menjadi inspirasi Roma untuk menyamakan kedudukan usai mencetak gol pada menit ke-79. Pada akhirnya, Roma bermain 2-2 kendati sempat tertinggal 2-0 pada babak pertama.
Namun demikian, Nakata mendambakan menit bermain yang lebih banter. Walhasil, sang pemain angkat kaki ke Parma dengan mahar 28 juta euro pada musim 2001-2002.
Keputusan tersebut berbuah manis. Menjadi pemain kunci di lini tengah, Nakata mengantarkan Gialloblu meraih gelar Coppa Italia. Saat itu, Nakata mencetak satu gol ke gawang Juventus pada leg pertama laga final. Pada akhirnya, Parma menjadi yang terbaik karena agresivitas gol tandang.
Hanya dalam waktu dua musim, Nakata telah mencatatkan sejarah sebagai pemain Jepang yang memenangi Serie A dan Coppa Italia. Tak heran, harapan besar dibebankan di pundak Nakata untuk membawa Jepang berprestasi di Piala Dunia 2002, di kandang sendiri.

Empat musim setelah Piala Dunia 1998, Nakata sudah membuka kaca mata hitam yang menghalangi pandangan sepak bola dunia pada timnas Jepang. Terlebih, saat itu tim Samurai Biru diperkuat empat pemain yag tampil di Eropa.
Pada 14 Juni 2002, langkah Jepang pun dimulai. Pandangan mata dari pelosok dunia menjadi saksi saat Jepang bermain imbang 2-2 melawan Belgia sebelum menang 1-0 atas Rusia lima hari kemudian.
Jepang menghadapi Tunisia pada laga pamungkas Grup H. Daisuke Ichikawa dan kawan-kawan memimpin pada menit ke-48 usai Hiroaki Morishima mencatatkan namanya di papan skor. Laju Jepang ke babak 16 besar kian jejak setelah memperbesar keunggulan menjadi 2-0 pada menit ke-75. Tidak lain dan tidak bukan, Nakata menjadi aktor di balik gol tersebut.
Meski akhirnya disisihkan Turki pada babak 16 besar, kesuksesan Nakata di Italia dan timnas Jepang telah memberikan suntikan inspirasi bagi generasi muda Jepang. Nakata membuktikan karier di Eropa bukanlah bak mendirikan benang basah.
Nakata menasdikkan diri sebagai katalisator sepak bola Jepang di dalam dan luar lapangan. Prestasi di dalam lapangan berjalan lurus dengan kemampuannya menjadi ikon mode yang telah mendapatkan pengakuan dunia. Sang legenda menegaskan jika jalan hidup sebagai bintang lapangan hijau bukanlah fiksasi atau delirium.
Namun, mentari tidak akan selamanya menyinari dunia, pun dengan terang Nakata yang mulai meredup. Kembali membela panji Parma, penampilan Nakata perlahan-lahan anjlok. Pada akhirnya, ia dipinjamkan ke Bologna selama enam bulan sebelum menuju Fiorentina secara cuma-cuma atau gratis pada 2005.
Meski begitu, prestasi Nakata mendapatkan pengakuan dari satu di antara legenda sepak bola dunia, Pele. Pria asal Brasil itu tidak ragu menyebut nama Nakata layak berada dalam daftar 100 pemain terbaik FIFA. Nakata menjadi wakil Asia dalam daftar itu bersama pemain Korea Selatan, Hong Myung-Bo.
Nakata terus bersemangat menemukan kembali bentuk permainan terbaiknya. Sang pemain memilih menuju Bolton Wanderers dengan status pinjaman. Meski tidak cemerlang, namun nakata masih mendapatkan sorotan dari media. Para penikmat sepak bola di Inggris penasaran apakah Nakata akan kembali menorehkan sensasi.
Walakin, Nakata tidak mendapatkan apa yang dia inginkan di Inggris. Dikabarkan berselisih dengan manajer Bolton, Sam Allardyce, Nakata tidak mendapatkan kesempatan yang cukup untuk menunjukkan kemampuannya. Sang pemain hanya mencetak sebiji gol dalam 21 pertandingan.
Kembali ke Fiorentina pada musim panas 2006, Nakata datang dalam keadaan tersudut. Ia sadar jalan menanjak dalam kariernya mulai kalut.

Nakata mengungkapkan sejumlah faktor yang membuatnya terpuruk. Ia merasa ada beberapa hal yang tak berjalan sesuai rencana. Pada akhirnya, Nakata enggan bermain jika tak bisa memengaruhi pertandingan dengan cara yang sama seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.
"Saya bermain sepak bola bukan karena ingin menjadi terkenal atau miliuner, namun karena mencintai sepakbola. Saya mungkin merasa sedikit lelah dengan lingkungan dan berbagai hal," terang Nakata.
Pada Piala Dunia 2006, Nakata mengambil satu di antara pilihan terberat dalam hidupnya. Sang pemain akan gantung sepatu usai turnamen paling bergengsi itu dihelat.
Jepang hanya meraih satu poin selama fase grup Piala Dunia 2006. Laga pamungkas Grup F terasa menyedihkan usai kalah telak 4-1 dari Brasil. Namun, air mata para penggemar dan tim Samurai Biru semakin deras karena satu di antara bab paling menarik dalam buku sejarah sepak bola modern mengambil langkah mundur.
Kini, pria 42 tahun itu dikabarkan menikmati masa pensiun dengan berbisnis minuman khas Jepang, Sake. Nakata mencoba mengambil tujuan selain si kulit bundar.
Meski begitu, 70 pertandingan internasional dengan mendulang 11 gol, satu titel Coppa Italia dan Serie A hanya menjadi secuil cerita milik Nakata. Dalam retrospeksi, ada pandangan jika karier Nakata terlalu prematur, namun pada sisi lain tak bisa dimungkiri sang gelandang adalah satu di antara narasi paling menarik bagi pecinta sepak bola saat pergantian abad.
Nakata memang bukanlah pionir bagi kemajuan sepak bola Jepang. Masih ada pemain seperti Yasuhiko Okudera yang menginjakkan kaki di Eropa terlebih dahulu. Namun, Nakata adalah propaganda terbaik Jepang di sepak bola dunia yang memberikan jalan bagi para penerus saat ini, Shinji Kagawa, Shinji Okazaki, Gotoku Sakai, Keisuke Honda hingga Yuto Nagatomo.
Memang, Nakata hanya berkibar sekejap di sepak bola dunia. Sang pemain terlihat seperti cerminan perjalanan karier musik pentolan grup band Nirvana, Kurt Cobain, yang hanya selayang pandang sebelum berakhir dalam kematian. Namun, bukankan hingga saat ini Cobain masih dikenang sebagai satu di antara musisi terbaik sepanjang sejarah?