Analisis Feature Piala Dunia Internasional

Analisis Prancis Vs Argentina: Pisau Bermata Dua Pragmatisme Les Bleus

Arief Hadi - Sabtu, 30 Juni 2018

BolaSkor.com - Jenuh. Monoton. Membosankan. Itulah tiga kata yang mewakili pertandingan terakhir Grup C Piala Dunia 2018 antara Prancis dan Denmark yang akhirnya berakhir dengan skor kacamata.

Jika melihat ruang lingkup yang lebih luas, permainan keduanya cukup bisa dimaklumi, mengingat Prancis sudah dipastikan lolos ke-16 besar dan Denmark hanya butuh hasil imbang untuk mendampingi Prancis. Namun, apakah permainan semacam itu bisa ditolerir oleh fans Prancis? Tidak juga.

Tim sekaliber Prancis, dengan mewahnya individu-individu berbakat di dalam skuat, tak seharusnya bermain seperti tidak ada niatan menang seperti itu - siapapun yang dimainkan Didier Deschamps. Oleh karenanya, wajar jika fans menyiuli permainan Prancis yang ditanggapi dengan santai oleh Antoine Griezmann.

"Kami (pemain Prancis) terbiasa dengannya (siulan fans). Jika Anda tidak mencetak gol, Anda akan disiuli. Jika Anda tidak bermain baik, maka Anda akan disiuli. Semua bergantung kepada kami untuk tetap berpikir tenang dan memainkan laga kami sendiri," ucap Griezmann.

Terbiasa dalam versi Griezmann itu bisa diartikan dengan filosofi bermain Atletico Madrid, klub yang dibela Griezmann. Atletico memang terkenal sebagai tim tangguh yang selalu sulit dikalahkan lawannya, karena mereka bermain dengan dua dasar utama: bertahan dengan rapat (solid) baru kemudian melancarkan serangan balik cepat, yang dibarengi efisiensi mencetak gol - juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan situasi bola mati.

Namun, apa yang diucapkan Griezmann itu juga bisa diartikan sebagai identitas bermain Prancis saat ini. Seolah berkaca dari kesuksesan Portugal kala menjuarai Euro 2016 dengan permainan pragmatis ala Fernando Santos, Didier Deschamps melakukan hal yang sama.

Pragmatis dalam sepak bola bisa diartikan dalam dua hal: menguasai penguasaan bola dan bermain monoton, atau benar-benar bermain bertahan dengan hanya mengandalkan serangan balik. Uniknya, Prancis sangat piawai memainkan kedua hal itu di Piala Dunia 2018.

Mereka dua kali memenangi penguasaan bola mutlak dari Australia dan Denmark, tapi, permainan Prancis cenderung lambat serta mudah dimentahkan pertahanan lawan. Saat melawan Peru, penguasaan bola Prancis kalah 43 berbanding 57 persen, namun mereka lebih berbahaya ketika melakukan serangan balik.

Tidak ada yang tahu pasti apa taktik sesungguhnya dari Deschamps, yang biasa bermain dengan 4-2-3-1 dan berubah 4-3-3 ketika menyerang. Namun, apabila dia benar mengedepankan hasil di atas segalanya, mengorbankan permainan sepak bola indah dan ofensif, maka Deschamps benar-benar menyiakan setumpuk talenta yang dimiliki dalam skuatnya.

Usia rata-rata pemain Prancis adalah 25,8 tahun, sementara lawan mereka di 16 besar Piala Dunia 2018, Argentina, punya rata-rata usia 30,2 tahun. Ini artinya, pertemuan keduanya seperti adu hebat pemuda zaman sekarang dengan pria paruh baya yang sudah sangat berpengalaman. Ujian tentunya bagi talenta-talenta muda Prancis.

Pisau Bermata Dua Pragmatisme Prancis

"Laga nanti akan jadi ujian pertama sesungguhnya bagi Prancis, yang belum memperlihatkan permainan terbaik mereka di Piala Dunia," ucap Adrien Gingold, koresponden Prancis untuk FIFA di Piala Dunia.

Seru tentunya melihat para talenta muda dan berenerjik Prancis melawan pemain-pemain berpengalaman tim asuhan Jorge Sampaoli. Tapi, semuanya bergantung dengan filosofi yang nantinya akan dimainkan Deschamps, bukan Sampaoli. Mengapa demikian?

Alasannya sederhana, Sampaoli disinyalir akan berusaha menjaga momentum bermain timnya dengan tetap mengandalkan taktik 4-4-2, dengan skuat yang sama seperti saat menang 2-1 melawan Nigeria. Dalam skema itu, Argentina lebih menjanjikan ketika menguasai penguasaan bola dan menyerang.

Akan tetapi, permainan Argentina memiliki celah di lini belakang dengan barisan bek-bek yang cenderung mudah panik ketika bola dari lawan masuk ke daerah pertahanan mereka. Lini belakang seringkali langsung dihadapkan pada situasi duel langsung menghadapi serangan lawan, karena kurangnya proteksi dari gelandang bertahan - dalam hal ini, Javier Mascherano.

Statistik dari Whoscored menunjukkan bahwa Argentina menderita tendangan sebanyak 10,3 dari lawan. Ini artinya, bek-bek sering 'dibiarkan' menghadapi serangan langsung dari lawan, hingga mereka bisa melepaskan tendangan dan memaksa pemain Argentina untuk melakukan blocking bola.

Celah Argentina itulah yang dapat dimanfaatkan Prancis dengan kelincahan pemain-pemain ofensif mereka seperti Kylian Mbappe, Ousmane Dembele, dan Griezmann. Andai Deschamps memang memilih mengandalkan serangan balik saat melawan Argentina, maka permainan itu bisa menjadi keuntungan untuk Prancis.

Kala Argentina tengah asyik menyerang, lalu bola berhasil direbut pemain Prancis, maka mereka bisa langsung melakukan serangan balik cepat memanfaatkan ruang di antara gelandang dan lini belakang Argentina. Inilah sisi positif pragmatisme Prancis.

Namun dari sisi berbeda, permainan defensif itu bisa memancing Argentina untuk terus menyerang, hingga lini belakang dan komando dari kapten sekaligus kiper Prancis, Hugo Lloris, akan sangat diuji untuk membendungnya.

Tentu saja tidak akan mudah membendung lini serang berkualitas Argentina. Dipimpin oleh Lionel Messi, Argentina masih memiliki pemain seperti Gonzalo Higuain, Sergio Aguero, Paulo Dybala, Angel Di Maria, dan Cristian Pavon di lini depan.

Kroasia mampu meraih kemenangan telak 3-0 atas Argentina karena dua hal: Argentina masih belum menemukan formasi yang pas dan Kroasia bermain sangat kolektif. Jadi, pilih yang mana, Deschamps? Memperkuat lini bertahan dan mengandalkan serangan balik, atau meladeni permainan ofensif Argentina.

Bagikan

Baca Original Artikel