Ilustrasi Triple Crown Balapan Berkuda.(Media Pordasi)

Triple Crown di Indonesia, meski berbeda rute, namun semangatnya sama: tiga seri balapan berjenjang, yang masing-masing menuntut keunggulan berbeda.

Seri I di bulan April (1.200 meter), Seri II di bulan Mei (1.600 meter), dan klimaksnya: Indonesia Derby di bulan Juli sejauh 2.000 meter.

Sepanjang sejarah PORDASI, baru dua kuda saja yang meraih gelar Triple Crown, yaitu kuda Manik Trisula pada 2002 dan kuda Djohar Manik pada 2014.

Dan sejak itu, satu dekade lebih, mahkota itu hanya indah dikenang, namun sulit diulang.

Sejarah mencatat setidaknya tujuh kuda yang nyaris menyentuh Triple Crown namun gagal.

Ada yang gagal di leg terakhir seperti King Master (2006), King Runny Star (2015), Nara Asmara (2016) dan Queen Thalassa (2019).

Ada juga yang menang di 2 laga terakhir namun sayangnya gagal di leg pertama sepertiPesona Nagari (2008) dan Bintang Maja (2023).

Sementara Lady Aria (2018) memenangkanleg pertama dan Derby, tapi hanya mampu finis kedua di leg kedua.

"Dari situ kita lihat, begitu sulit meraih Triple Crown Indonesia," ujar Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Munawir.

Triple Crown, sambung Munawair, menuntut daya tahan luar biasa kuda, konsistensi taktergoyahkan, strategi cermat, dan kesiapan menghadapi tantangan cuaca, cedera, bahkanfluktuasi psikologis seekor kuda.

Munawir menjelaskan Triple Crown Indonesia dirancang menyesuaikan karakter dan dayatahan kuda lokal.

Derby tidak dibuat 2.400 meter seperti luar negeri agar tidak membebani ataumencederai kuda.

"Realistis saja. Karena kuda-kuda di sini belum kuat jaraknya sepanjang itu," ucap Munawir.

Adapun kriteria peserta Triple Crown Indonesia sama dengan negara lain kebanyakan, yakni kuda umur 3 tahun.

"Artinya seekor kuda hanya punya satu kali peluang seumur hidup untukmenjadi juara Triple Crown," imbuhnya.

Di Ambang Pintu Sejarah Baru

Lanjut Baca lagi