Enam tahun sudah PSG dimiliki Qatar Sports Investments (QSI). Dan, PSG sama sekali belum bisa mendekati impian mereka menjadi yang terbaik di Eropa. Setelah mengeluarkan lebih dari satu miliar euro atau puluhan triliun rupiah, PSG gagal, bahkan untuk meraih satu tempat di perempat final.

"Kami tidak melakukan apa yang seharuskan dilakukan pada laga ini. Kami tak mau bereaksi berlebihan usai hasil ini. Kami akan berbicara kepada pemain. Kam harus tetap tenang dan akan memikirkan apa yang harus dilakukan nanti," ujar ketua klub, Nasser Al-Khelaifi kepada beIN Sprots usai laga.

Entah apa yang ada di kepala Khelaifi. Apakah dia akhirnya menyadari jika uang tak akan membuat klubnya sukses dalam satu malam. Di kompetisi lokal, PSG boleh saja menjadi raksasa, tapi di Liga Champions, mereka menghadapi raksasa sesungguhnya.

Untuk sukses di kancah tertinggi Eropa, sebuah tim harus memiliki jati diri yang kental. Hal yang tak dimiliki PSG, yang hanya mementingkan pemain bernama besar. Saat ini PSG adalah timnya Neymar, bukan sebaliknya.

Lemahnya pengaruh dari sang pelatih, Unai Emery, juga bisa menjadi penyebab kegagalan PSG. Emery terlihat kehilangan wibawa di tengah para pemain bintang. Emery gagal membuat pondasi kokoh dalam tim yang hanya mengandalkan kejeniusan pemain bintang yang dimiliki. Dan pondasi ini yang tak bisa dibangun secara instan.

Hal ini pula yang membedakan PSG dari Manchester City, klub kaya lain. Man City memiliki Pep Guardiola yang memiliki prinsip bermain yang jelas. Pemain baru yang didatangkan juga harus sesuai dengan prinsip serta identitas klub yang dipatok Guardiola.

Tanpa identitas serta mental juara, PSG akan sulit mewujudkan impian mereka meski berapapun uang yang mereka keluarkan.