Sisi Positif

Ada buruk ada baik. Red Bull memang dikritik karena cara mereka mengorganisir tim dan keinginan untuk mengambilalih penuh, tapi patut diingat semua itu datangnya dari luar tim. Secara internal mereka menikmati proses perkembangannya.

RB Salzburg tadinya berkutat di Salzburger Liga, divisi empat sepak bola Austria, dan kini sudah punya 10 titel Austrian Bundesliga. New York memenangi konferensi lima kali, meski tanpa titel MLS mereka mampu menarik atensi penonton setempat untuk menyaksikan pertandingan.

RB Leipzig juga meningkat drastic dari NOFV-Oberliga Sud ke Bundesliga pada 2016, lalu bermain di Liga Champions, dan kini sudah menjadi salah satu tim papan atas Bundesliga.

Apa kesamaan dari klub-klub tersebut? Perkembangan pesat yang begitu nyata terjadi. Tidak hanya dari sisi peningkatan performa, Red Bull juga memerhatikan infrastruktur klub, stadion, dan akademi pemain muda.

Beberapa pemain muda juga tidak lepas dari perhatian mereka. Terlepas dari keberhasilan New York menarik nama-nama besar seperti Thierry Henry dan Tim Cahill di masa lalu, pemain-pemain muda juga berkembang di tim milik Red Bull seperti Timo Werner, Yussuf Poulsen, Naby Keita, Sadio Mane, Takumi Minamino, dan Erling Haaland.

Sadio Mane kala memperkuat Red Bull Salzburg

Satu hal menarik lainnya adalah Red Bull menjaga baik stafnya dan melebur bak satu keluarga besar. Tiga figur yang menjadi ‘pengirim pesan’ filosofi Red Bull adalah Ralph Rangnick, Jesse Marsch, dan Andrew Sparkes.

Jesse Marsch sudah melatih tiga klub Red Bull dari New York (2015-2018), Leipzig (2018-19 asisten manajer), dan kini membesut Salzburg dari tahun 2019.

Rangnick sudah berada di Red Bull sejak 2012 dan memainkan peranan penting sebagai pelatih dan juga Direktur Olahraga. Ketiganya mengalami perkembangan karier yang berbeda, namun tetap bersatu di bawah payung Red Bull.

“Red Bull adalah keluarga dekat. Saya tahu orang-orang yang mengenal Ralph dan dia tahu orang-orang yang mengenal saya. Itu adalah benang merah,” tambah Sparkes.

“Terminologi yang digunakan Ralph adalah terminologi dan bahasa yang saya gunakan. Ketika Ralph berbicara tentang sebuah ide saya tahu itu dari waktu saya di Red Bull. Itu hanya akan terus menyebar ke seluruh sepak bola.”

Ralf Rangnick

“Mereka akan membawa semua pelatih dari Ghana, Brasil, Amerika, untuk melakukan pertemuan tentang filosofi, identitas dan memiliki ide yang jelas bagaimana mereka ingin mengembangkan kiper. Metodologi yang sama, bahasa yang sama.”

“Berbagi pengetahuan di semua organisasi itu luar biasa. Saya tidak bisa melakukan itu dengan tim lain. Itu memiliki akses ke berbagai filosofi dan ide-ide pembinaan yang membuat Red Bull begitu berbeda untuk bekerja,” pungkas Sparkes.

Menarik tentunya apabila Red Bull suatu hari mengambil salah satu klub Asia dan mengembangkannya seperti RB Salzburg atau RB Leipzig.