Pemimpin Tanpa Ban Kapten yang Pernah Ditolak Liverpool

"Renato memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus. Dia pemuda yang dapat berbicara lantang dan bahkan, pemain yang lebih tua mendengarkannya," tutur Gareca mengenai Tapia, yang jelas mengenal karakternya. Baik itu di ruang ganti pemain atau saat bertanding.

Renato bahkan belum lahir ketika terakhir Peru mentas di Piala Dunia 1982. Dia lahir pada 28 Juli 1995 di Lima, Peru. Baginya, lolos ke Piala Dunia 2018 merupakan mimpi jadi nyata yang tidak pernah diduga sebelumnya.

"Beberapa orang masih tidak percaya bahwa kami akan pergi ke Rusia. Ketika saya tiba di Belanda pada usia 18 tahun, saya tak pernah membayangkan masuk timnas secepat ini, dan bahkan tidak memikirkan lolos kualifikasi Piala Dunia. Tentu, saya memimpikannya, tapi menjadikan mimpi sebagai kenyataan terlihat masih sangat jauh (dari bayangan)," tutur Tapia.

Di usia 18 tahun, Tapia merantau ke Belanda setelah sembilan tahun mengenyam pendidikan di akademi Sporting Cristal dan Esther Grande. Tapia bergabung dengan Jong FC Twente (tim muda Twente). Perlahan, dia menembus tim utama, mempopulerkan dirinya hingga dibeli Feyenoord di tahun 2016.

Hebatnya, musim pertama Tapia bersama Feyenoord berakhir dengan trofi Eredivisie di bawah arahan Giovanni van Bronckhorst - trofi yang sudah lama dinanti. Tapia belum menjadi pemain reguler, namun, Van Bronckhorst memercayainya. Ini yang terpenting bagi pemain muda sepertinya.

Tapia cukup dikenal di Belanda. Tapi, tahukah Anda, jika dia pernah melakukan trial atau uji coba bersama Liverpool atau Tottenham Hotspur?

"Pada usia 15 tahun, saya berkompetisi di kejuaraan U17 Amerika Selatan dan kemudian, saya menjalani trial di Liverpool, yang menolak saya karena mereka pikir saya tidak cukup tinggi untuk jadi seorang bek, dan juga di Tottenham. Di tahun berikutnya, klub saya menyetujui kesepakatan dengan Twente, dan saya pergi ke Belanda sejak saat itu," ungkap Tapia.

Ia belum berstatus bintang, namun Tapia tengah menuju ke sana dengan kemampuannya bermain sebagai gelandang tengah atau gelandang sayap kanan - jika dibutuhkan bisa jadi bek tengah. Pada usia yang relatif muda, Tapia mampu bermain tenang untuk membaca permainan dan memiliki penempatan posisi yang bagus. Ia memiliki kemampuan bertahan, serta keahlian untuk mencetak gol saat melakukan penetrasi dari lini kedua.

"Saya sangat percaya diri, saya memiliki keahlian dan sedikit cuek, juga memiliki kaki yang bagus. Saya lebih suka bermain sebagai gelandang tengah, tapi saya bisa beradaptasi dengan posisi manapun yang diinginkan pelatih," imbuh Tapia.

Betapa krusialnya sosok Tapia di lini tengah Peru dapat dilihat dari menit bermainnya di Kualifikasi Piala Dunia 2018. Tapia berada di urutan teratas dari lima pemain yang paling sering tampil, dengan menit tampil 1.501, menyusul di bawahnya Guerrero (1.480), Christian Cueva (1.300), Pedro Gallese (1.260), dan Yoshimar Yotun (1.076).

Peru tergabung di grup C bersama Australia, Denmark, dan tim dengan tradisi kuat di Piala Dunia, Prancis. Tapia tidak muluk-muluk mencanangkan target. Baginya, level kesulitan Piala Dunia nanti berada di level 10 - level tersulit.

"10! Tidak ada laga yang nantinya akan mudah, dan kami tak akan memulainya sebagai tim favorit. Belum pernah di antara kami yang berada di sini sebelumnya, jadi kami tak tahu bagaimana caranya bermain di Piala Dunia," sambung Tapia.

Di Piala Dunia nanti, Tapia akan bentrok langsung dengan rekan setimnya di Feyenoord, Nicolai Jorgensen, kala Peru bertemu dengan Denmark. Dalam pikirannya, Tapia hanya ingin bermain lepas dan menikmati tiap momen di Rusia, tempat berlangsungnya Piala Dunia 2018.

Seperti yang pernah ditulisnya di akun Twitter @renatotapiac: "Saya menendang bola dengan seluruh jiwa, hati, dan hidup. Seluruh negara menendangnya bersama saya! Cinta Anda, Peru!". Semoga Anda sukses, calon kapten Timnas Peru.

Lanjut Baca lagi