Hal itu sudah terbukti ketika sebuah laga Grup F Piala Dunia 1998 yang mempertemukan Iran kontra Amerika Serikat di Stade Gerland, Lyon, Prancis, 21 Juni sepuluh tahun silam. Laga Iran kontra Amerika Serikat memang tak seseru laga klasik Jerman melawan Belanda, atau Argentina menghadapi Brasil.
Akan tetapi, laga Iran kontra Amerika Serikat ketika itu mengundang perhatian internasional. Bagaimana bisa? Karena laga itu dibumbui unsur ketegangan politik antar kedua negara.
Sejak revolusi Iran 1979, Amerika Serikat dan Iran tidak memiliki hubungam diplomatik. Hubungan keduanya diperburuk dengan ketidaksetujuan Amerika Serikat atas progam nuklir Iran. Begitupun Iran yang tak setuju dengan kedigdayaan Amerika Serikat yang mengatur dunia, buntut dari kemenangan Perang Dingin melawan Uni Soviet.
Jelang laga Iran kontra Amerika Serikat, isu yang beredar ada tujuh ribu teroris sudah mendapatkan tiket pertandingan. Puluhan ribu demonstran Iran juga bakal berunjuk rasa untuk memproteksi laga tersebut. Akibatnya, pihak keamanan Prancis mengamankan laga tersebut dengan ketat.
Panasnya laga kembali ditambah dengan seruan pemimpin Iran ketika itu, Muhammad Khatami, agar Iran tidak menghampiri Amerika Serikat ketika berjabat tangan. Sesuai aturan FIFA, tim B harus menghampiri tim A untuk berjabat tangan sebelum kick off. Saat itu, Iran sebagai tim B dan Amerika Serikat tim A.
Media officer Iran, Mehrdad Masoudi, berhasil melakukan negosiasi dengan panitia pelaksana pertandingan dan FIFA. Alhasil, Amerika Serikat yang datang menyalami Iran sesaat sebelum kick off.
Setelah itu, terlihatlah sepak bola sebagai persahabatan dan kedamaian. Penonton bersorak suka cita ketika Iran menyerahkan seikat bunga mawar untuk Amerika Serikat. Ketika sesi foto sebelum kick off, kedua tim berfoto bersama sambil wasit melepas balon berwarna pink sebagai tanda cinta damai.
Ketakutan akan terorisme dan demonstrasi tidak terbukti. Semuanya berjalan baik dan penuh sportifitas di dalam lapangan.