Kisah Dualisme Pertama

PSSI mengalami cobaan pertama. PSSI dengan anggotanya yakni PSIM Mataram (Yogyakarta) berkonflik pada tahun 1934-1937. PSIM tidak sepaham dengan PSSI.

PSIM pun membentuk federasi tandingan bernama PORSI (Persatuan Olah Raga Seluruh Indonesia). PSSI merespons dengan membentuk klub bernama Persim Mataram. PSIM pun tidak ikut dalam kompetisi Perserikatan sejak 1934. PORSI tidak hanya menaungi sepak bola, tetapi olah raga lainnya seperti voli hingga atletik.Saat itu, pemain berkualitas PSIM dirayu PSSI untuk keluar dan bergabung dengan klub-klub anggota lainnya, seperti Persis Solo dan lain-lain. Salah satu pemain yang dimaksud adalah Maladi, kiper PSIM. Ia juga merupakan mantan Menteri Olah Raga (sekarang, Menpora) zaman Presiden Soekarno dan Soeharto.

Dalam artikel yang ditulisnya berjudul "Perjalanan Sepakbola Indonesia", Maladi sedikit membocorkan konflik PSSI dan PSIM. Saat itu, PSIM tidak diikutsertakan dalam jajak pendapat kerja sama PSSI yang diwakili Soeratin dengan NIVB. Kerja sama ini adalah untuk timnas Hindia Belanda ke Piala Dunia 1938.

Dikutip dari Koran Pemandangan, Soeratin akhirnya mengasingkan diri ke Bandung. Urusan PSSI dan sepak bola diserahkan kepada Dr R.M Soeratman Erwin ditunjuk Soeratin sebagai Ketua Harian PSSI. Soeratin pun merasa dibohongi dengan jalinan kerja sama NIVB. PSIM akhirnya kembali ke pangkuan PSSI pada 21 Oktober 1937.

Baca Juga:

88 Tahun Persib Bandung: Salawasna hingga Budaya Jawa Barat

Nostalgia - Kejayaan Persija dengan Identitas Merah-Putih dan Oranye

Perjalanan PSSI di Zaman Penjajahan Jepang hingga Agresi Militer Belanda

Selanjutnya, sepak bola pribumi pun kian mentereng. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh politik, di mana Belanda menyerah kepada Jepang.

NIVB akhirnya bubar setelah Belanda menyerah kepada Jepang. Klub-klub Hindia Belanda ada yang memilih bubar, ada pula yang bergabung di bawah naungan klub besar PSSI (Persija Jakarta, Persib Bandung, PSM Makassar, Persis Solo, hingga PSIM Yogyakarta)

Di saat zaman penjajahan Jepang, seluruh klub berubah nama menjadi Persatuan Olah Raga Indonesia (PORI), sesuai daerahnya masing-masing. Namun, kompetisi Perserikatan masih berjalan.

"Tahun 1942 kegiatan olah raga seizin Jepang. Sebenernya sepak bola masih ada. Namun, atas penguasaan Jepang. Sesudah kemerdekaan, baru di tahun 1948, sepak bola ada lagi, Persib ada laga melawan Persija ketika itu," ungkap Wartawan Senior Sekaligus Penulis Buku, Endan Suhendra, kepada BolaSkor.com.

Jepang akhirnya menyerah kepada sekutu. Hal ini tentu berpengaruh terhadap sepak bola Indonesia. Sepak bola Indonesia secara keseluruhan hidup kembali.

Namun, PSSI kembali mengalami masa cobaan saat agresi militer Belanda I dan II tahun 1947-1948. Banyak klub Belanda yang menggunakan nama Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menyamar agar disangka klub pribumi.Contohnya, ada PSBS (Persatuan Sepak Bola Bandung dan Sekitarnya).

Namun, klub-klub tersebut akhirnya bubar seiring dengan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto dan de jure. PSSI pun akhirnya masuk ke dalam anggota FIFA pada tahun 1952. Dua tahun kemudian, PSSI masuk ke dalam anggota AFC.