Kutukan atau Sekadar Tren Marketing?

Valentino Rossi

Pada akhirnya, selain karena kutukan tersebut, ada alasan lain pembalap lebih senang mengenakan nomor mereka. Apalagi kalau bukan alasan marketing?

Di era MotoGP modern, selain dari gaji cara pembalap mencari tambahan cuan adalah dari penjualan merchandise. Dengan memiliki nomor spesial, hal tersebut seolah menjadi identitas mereka.

Fans Rossi contohnya, memiliki keterikatan tersendiri dengan nomor 46. Merchandise apa pun dari The Doctor pasti memiliki nomor tersebut.

Seperti juga penggemar Baby Alien yang akrab dengan nomor 93. Atau fans Lorenzo yang sempat dekat dengan nomor 99 atau nomor 26 bagi pendukung Dani Pedrosa.

Di sinilah muncul selisih kepentingan antara pembalap dengan pabrikan. Bagi pembalap, mempertahankan nomor mereka seperti self branding untuk para penggemarnya.

Jorge Lorenzo

Sementara itu pabrikan memiliki pandangan lain. Mereka ingin menunjukkan kepada calon konsumen kalau motor yang mereka keluarkan digunakan oleh juara dunia.

Bagi pembalap yang memiliki fanbase kuat seperti Rossi atau Marquez, sulit rasanya untuk mengubah nomor mereka. Sementara pembalap yang 'belum punya nama' akan lebih mudah dikendalikan.

Coba bayangkan kalau Maverick Vinales, Franco Morbidelli, atau Fabio Quartararo yang memenangi MotoGP 2020. Yamaha bisa dipastikan bakal 'memaksa' mereka untuk mengenakan nomor satu.

Bisa dibilang, Mir beruntung dengan manajemen Suzuki yang cukup 'kekeluargaan'. Dengan demikian, dia bisa menghindari kutukan sekaligus memperbesar brand nya.

Pada era MotoGP modern, tidak dapat dipungkiri kalau nomor motor sudah menjadi identitas pembalap. Seperti pemain sepak bola atau basket dengan nomor punggung mereka.

Melihat tren saat ini, rasanya sulit untuk melihat motor dengan nomor satu beraksi di MotoGP dalam waktu dekat. Patut dinanti pemabalap yang berani menentang kutukan itu sekaligus membangun brand dengan nomor satu seperti era Doohan.