Peran di Setiap Lini

Tammy Abraham dan Mason Mount

Poin ini bisa jadi kelemahan Man United yang membedakan mereka dengan Chelsea. Tanpa Direktur Olahraga, Man United tidak efisien merekrut pemain dan masih ada kelemahan di beberapa area, contohnya: lini depan.

Tidak ada pengganti sepadan untuk menutupi kepergian Alexis Sanchez dan Romelu Lukaku. Praktis Solskjaer hanya mengandalkan Anthony Martial, Marcus Rashford, dan striker berusia 17 tahun dari akademi, Mason Greenwood.

Di area yang sama, Chelsea, yang dilarang membeli pemain sebagai konsekuensi merekrut pemain di bawah umur, memiliki stok memadai seperti: Tammy Abraham, Michy Batshuayi, dan striker berpengalaman, Olivier Giroud.

Abraham, yang sudah mencetak sembilan gol di Premier League, kembali ke Chelsea tepat pada waktunya setelah sebelumnya dipinjamkan ke Bristol City, Swansea City, dan Aston Villa. Abraham unggul pengalaman ketimbang Greenwood.

Chelsea memiliki pemain-pemain muda yang bermain baik di tiap area. Tomori di belakang, Mount di tengah, dan Abraham di lini depan. Mereka didampingi oleh pemain-pemain berpengalaman seperti Cesar Azpilicueta, Jorginho, Mateo Kovacic, Giroud, Pedro, dan Willian.

Hal itu berbeda dengan Man United. Solskjaer cenderung lebih banyak memainkan pemain-pemain muda dengan dalih filosofi klub, sebab ia tak punya banyak pilihan lain di dalam skuatnya.

Sementara skuat Chelsea-nya Lampard punya kombinasi pemain muda-senior yang bagus, plus Lampard 'dipaksa' menerima situasi tak bisa belanja pemain. Tentu unik melihat Man United, tim yang bisa belanja pemain di bursa transfer, berada di bawah Chelsea dari posisi di klasemen Premier League saat ini.

Pengalaman

Mason Greenwood dan Brandon Williams

Manchester United memiliki Rashford, Martial, Andreas Pereira, Diogo Dalot, Daniel James, Brandon Williams, Timothy Fosu-Mensah, Greenwood, Angel Gomes, Aaron Wan-Bissaka, James Garner, Tuanzebe, Scott McTominay, dan Tahith Chong, sebagai pemain-pemain muda yang diandalkan musim ini.

Sedangkan Chelsea punya Andreas Christensen, Abraham, Ruben Loftus-Cheek, Mount, Callum Hudson-Odoi, Christian Pulisic, Reece James, Tomori, Billy Gilmour, dan Marc Guehi.

Mereka semua pernah dimainkan oleh Solskjaer dan Lampard musim ini. Beberapa di antara mereka punya pengalaman lebih, entah itu dari masa pinjaman atau dari pengalaman bermain di tim utama di musim-musim sebelumnya.

Jadi, Solskjaer tak bisa menyalahkan sistem peminjaman Chelsea, meski faktanya pemain seperti Garner, Williams, Greenwood, Gomes, dan Chong, masih sangat 'hijau' musim ini. Toh faktanya, Mount, Tomori, Abraham, Gilmour, dan Guehi juga baru bermain di skuat utama Chelsea musim ini.

Bukan permasalahan pengalaman melainkan kualitas kedua manajer untuk memaksimalkan potensi pemain-pemain muda tersebut. Lampard tidak lebih lama dari Solskjaer soal pengalaman melatih, namun, kualitas keduanya bisa dilihat dari jejak karier mereka.

Baru memulai karier kepelatihan sebagai manajer Derby County pada musim 2018-19, Lampard sudah nyaris membawa The Rams promosi ke Premier League dan permainan tim terbilang bagus: ofensif dan mengandalkan banyak pemain muda.

Sementara Solskjaer sudah mulai melatih dari 2008, melatih tim cadangan Man United, Molde, Cardiff City, dan tim utama Man United. Namun, kesuksesannya terjadi saat merekrut titel Tippeligaen dua kali dan satu Piala Norwegia.

Tanpa mengurangi rasa respek dengan sepak bola Norwegia, tantangan di Inggris lebih besar. Buktinya, Solskjaer dipecat pada 2014 meski baru sebentar melatih Cardiff. Jadi dalam hal ini, kualitas melatih Lampard dan Solskjaer berbeda.