"Asosiasi sepak bola merancang strategi baru untuk mengidentifikasi dan merekrut bakat di seluruh komunitas besar Tanjung Verde," kata agen yang berbasis di AS, Tony Araujo, dikutip dari Reuters.

"Proses identifikasi bakat dan rekrutmen global mulai membuahkan hasil besar sekitar 2013, ketika mereka lolos ke final Piala Afrika pertama."

Sumber daya alam yang langka dan lingkungan yang gersang telah lama menyebabkan migrasi dari kepulauan tersebut, yang sudah ada sejak masa penjajahan Portugis.

Para migran berbondong-bondong pergi ke Portugal serta tujuan-tujuan lain, seperti pesisir timur Amerika Serikat dan Belanda.

Hal tersebut bisa tercermin dari skuad Tanjung Verde saat ini yang diperkuat kelahiran Belanda, Portugal, Prancis, dan Irlandia.

Roberto "Pico" Lopes dari Shamrock Rovers termasuk di antara banyak pemain yang direkrut dengan cara unik.

"Saya membuat profil LinkedIn ketika saya masih kuliah tetapi tidak pernah benar-benar melihatnya," kata Lopes.

"Saya menerima pesan dari pelatih saat itu, Rui Aguas, tetapi dia menulis pesan dalam bahasa Portugis. Saya pikir itu spam dan tidak menanggapinya."

"Sembilan bulan kemudian, dia kembali mengirim pesan, 'Hai Roberto, sudahkah kamu mempertimbangkan apa yang saya katakan?'"

"Saya menyalin pesan itu ke Google Translate. Dan intinya, isinya, 'Kami sedang mempertimbangkan pemain baru untuk skuad Tanjung Verde dan apakah kamu tertarik untuk bergabung dengan Tanjung Verde?'"

"Saya sangat antusias menjawab 100 persen saya ingin menjadi bagian dari skuad,” kenangnya.

Menurut Arauji, dulu sulit bagi tim untuk menarik talenta-talenta top Eropa dari Tanjung Verde.

"Namun dengan gelombang kesuksesan baru-baru ini, lebih banyak talenta Eropa yang cenderung memilih Tanjung Verde untuk menunjukkan bakat mereka di tingkat internasional," terang dia.

Kini, Tanjung Verde, yang dua dekade lalu tidak terdengar di kancah sepak bola, akan menjadi salah satu tim yang tampil di Piala Dunia 2026.