3. Udinese (2012-13)

Udinese

Sedari dulu sampai saat ini, klub dengan corak warna yang sama dengan Juventus dan AC Siena ini dikenal sebagai klub yang kerap mengorbitkan pemain muda, antah berantah, menjadi pemain top Eropa. Arturo Vidal dan Mauricio Isla jadi produk terkenal dari penggemblengan pemain yang dilakukan oleh Francesco Guidolin.

Pada musim 2012-13, Udinese pernah meramaikan persaingan di papan atas Serie A dan mengakhiri musim di peringkat lima klasemen yang berbuah tiket Kualifikasi Putaran Ketiga Liga Europa.

Udinese memiliki kolektivitas bermain dalam skuat yang berisikan: Antonio Di Natale, Medhi Benatia, Luis Muriel, Roberto Pereyra, Piotr Zielinski, Allan, dan Giampiero Pinzi. Di Natale jadi pemain paling menonjol dengan torehan 23 gol, terpaut enam gol dari top skor Serie A yang bermain di Napoli, Edinson Cavani.

4. Cagliari (1969-70)

Cagliari

Sejarah yang mungkin tidak akan pernah terulang lagi. Klub kecil dari Kepulauan Sardinia yang dibentuk pada tahun 1920 pernah merajai Serie A dengan catatan kebobolan 11 gol, memasukkan 42 gol, dan kalah dua kali sepanjang musim 1969-70, kala liga masih berisikan 16 klub.

Kisah cinderella Cagliari dibangun dengan kesabaran dari masa Kepresidenan Enrico Rocca, yang mengangkat Cagliari dari Serie C, hingga era Efisio Corrias yang menyempurnakan pondasi dari Rocca. Pada era kepelatihan Manlio Scopigno, Cagliari menjadi satu tim yang solid dan utuh.

Luigi “Gigi” Riva, Nene, Pierluigi Cera, Enrico Albertosi, Mario Martiradonna, Giulio Zignoli, merupakan beberapa pahlawan Scudetto Cagliari yang namanya tidak akan lekang oleh waktu dalam sejarah klub dan juga Serie A. Scopigno meracik skuat dengan cerdas.

Cera yang notabene gelandang bertahan, dijadikannya bek tengah, hingga ia memiliki visi untuk membangun serangan dari belakang.

Bersama dengan Albertosi, Martiradonna, dan Zignoli, Cera membentuk benteng tangguh di lini belakang. Di tengah dan sisi sayap, Nene dan Angelo Domenghini selalu jadi ancaman dengan kecepatan serta kemampuan mereka mengolah bola.

Maestro lini tengah, Ricciotti Greatti, selalu menciptakan peluang berbahaya bagi pertahanan lawan dan memberikan suplai bola kepada sang predator, Riva. Sepenggal kisah Cagliari di musim 1969-70 akan selalu menjadi cerita indah yang turun temurun diceritakan warga Sardinia dari satu generasi ke generasi berikutnya.

5. Atalanta (2016-17)

Atalanta

La Dea (The Goddess) tidak terbentuk sebagai tim petarung trofi. Buktinya, selama 110 tahun berdirinya klub, Atalanta hanya pernah sekali menjadi juara Coppa Italia 1962-63, sisanya hanya menjuarai Serie B selama enam kali. Tak ayal pencapaian mereka di musim 2016-17 disebut sebagai pencapaian tersukses Atalanta di Serie A.

Kala itu, di bawah asuhan pelatih yang senang memainkan taktik tiga bek, Gian Piero Gasperini, Atalanta finisih di urutan empat klasemen dan berhak mendapat tiket langsung ke fase grup Liga Europa. Di musim sebelumnya Atalanta hanya finish di peringkat 13 klasemen.

Alejandro Gomez jadi pemain tertajam dalam skuat Atalanta dengan torehan 16 gol di Serie A. Gasperini juga mampu memaksimalkan potensi pemain dalam skuat yang dimiliki Mattia Caldara, Roberto Gagliardini, Andrea Conti, Bryan Cristante, Franck Kessie, Jasmin Kurtic, dan Andrea Petagna.

Racikan Gasperini tersebut menjadikan Atalanta sebagai tim tertajam keempat di Serie A di bawah Napoli (94 gol), AS Roma (90 gol), dan Juventus (77 gol), yang menjadi juara di akhir musim.

Peningkatan dalam grafik bermain Atalanta terus berlanjut sampai saat ini. Mereka lolos Kualifikasi Liga Champions dalam sejarah klub pada musim 2019-20 setelah finis di tiga besar Serie A 2018-19.