Mengupas Pentingnya Pemain Jebolan Akademi Sendiri

BolaSkorBolaSkor - Senin, 20 Januari 2014
Mengupas Pentingnya Pemain Jebolan Akademi Sendiri
Mengupas Pentingnya Pemain Jebolan Akademi Sendiri

Jakarta - Seperti biasa, Januari adalah saat jendela transfer pemain dibuka, selain tiap pertengahan tahun. Mereka yang (kebetulan/sedang) berkantong tebal biasanya ramai-ramain turun ke pasar, namun ada juga yang memilih pasif dan mengoptimalkan talenta muda.

Tak ada yang salah dengan dua kebijakan ini, karena masing-masing punya dapur sendiri. Namun menarik mencermati klub yang memilih opsi kedua. Selain mengindahkan Financial Fair Play godokan UEFA, penganutnya juga cenderung menjunjung tinggi pembinaan usia muda yang merupakan fondasi awal sebuah tim nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, tren menghamburkan dana untuk membeli dan menggaji pemain meningkat secara dramatis. Tujuh dari 10 rekor transfer termahal dunia terjadi sejak 2009, tiga di antaranya pada bursa transfer Januari.

Kian tingginya harga jual dan nama besar bintang lapangan hijau, telah berdampak pada naiknya rata-rata gaji pemain secara keseluruhan. Tentu mereka yang berstatus pemain makin sumringah, namun di satu sisi menimbulkan sakit kepala bagi mereka yang ada di jajaran petinggi manajemen klub. Tidak sedikit kasus klub yang mengeluarkan biaya lebih besar, justru dapat untung lebih sedikit, bahkan mengarah ke jurang kebangkrutan (ujung-ujungnya pinjam uang di bank).

Luka yang didiamkan bakal jadi borok. UEFA tidak mau ini terjadi, maka organisasi pimpinan Michel Platini tersebut mengesahkan Financial Fair Play, sebuah skema yang memungkinkan sebuah klub hidup sesuai kemampuan. Gampangnya, agar lebih realistis! Dengan aturan pembatasan keuangan, sebuah klub diharapkan akan lebih melirik sumber dayanya yang lain, seperti produk-produk jebolan akademi.

Cara pintar dan efisien ini selalu digunakan klub yang meraih sukses secara berkelanjutan. Sedikit flash back, ada banyak contoh keberhasilan dari pembinaan usia muda, maupun pengembangan talenta lokal. Lihatlah Ajax yang melahirkan Cryuff, atau Bayern Muenchen yang kental dengan Beckenbauer, Muller, Roth, Maier dan Hoene?. Tim ini memenangkan tiga Piala Champions secara beruntun pada era 70an, serta membawa Jerman Barat juara Piala Dunia 1974, Piala Eropa 1972, lalu runner-up di edisi selanjutnya.

Maju lagi beberapa tahun, skuat Manchester United era 1990 dan 2000 mendominasi sepak bola Inggris, serta meraih trebel spektakuler pada 1999. Inti dari pasukan Red Devils kala itu adalah nama-nama seperti Beckham, Butt, Giggs, Scholes dan Neville. Seluruhnya lulusan akademi, digabung dengan beberapa pemain asal Inggris lain seperti Andy Cole.

Kemudian sampai pada kedigdayaan delapan tahun Barcelona, di mana berisi pemain kunci macam Xavi, Iniesta, Pique, Puyol, Messi, dan lain-lain, jebolan La Masia. Contoh nyata lain namun kerap dilupakan orang, adalah ketika Celtic berhasil mengatasi Il Grande Internazionale di final Piala Champions 1967. Fakta yang menonjol dari sukses pertama Cetic di kompetisi tertinggi antar klub Eropa tersebut adalah, seluruh pemain yang berada di tim besutan Jock Stein lahir di kota Glasgow dalam radius tak lebih dari 18 km.

Jadi, kenapa klub yang menggunakan pemain lokal atau binaan akademi sendiri, bisa meraih sukses besar yang berkelanjutan? Terdapat beberapa faktor, di antaranya adalah:

1. Budaya

Klub-klub elit dunia tentu punya beberapa pemain asing. Jadi, ketika ada keterlibatan pemain dari belahan bumi lain, sudah tentu ada kesenjangan budaya dan komunikasi yang perlu dijembatani. Sepak bola memang bahasa universal, namun praktiknya tak semudah yang dibayangkan.

Seorang pemain lokal (menetap di suatu tempat), pemikirannya tak akan beradaptasi untuk menyelaraskan diri dengan pemain asing. Mengutip dari blog http://edge.org/conversation/how-does-our-language-shape-the-way-we-think milik Lera Boroditsky, seorang Asisten Professor Psychology, Neurology dan Symbolic di Stanford University, hal ini disebabkan karena faktor paling berpengaruh dalam berbahasa adalah pikiran dan tindakan.

Implikasi fenonema bahasa dan komunikasi ini terhadap sepak bola cukup terasa. Gaya main negara-negara dengan bahasa romantis seperti Spanyol, Brasil dan Argentina, cenderung menekankan pada keindahan dan skill individu, lebih sering terlihat pola umpan-umpan rumit dan gerakan indah. Bandingkan dengan negara-negara Eropa di bagian yang lebih ke Utara macam Inggris dan Jerman, menitik beratkan pada posisi dan fungsi. Hasilnya, pendekatan fisik lebih diutamakan, cepat menempatkan bola ke depan jadi opsi utama, meski kerap kalah dalam penguasaan bola.

Apa hubungannya dengan pengembangan talenta lokal dari akademi jadi lebih efektif? Perbedaan tadi, ambil contoh Spanyol dan Jerman, dua negara yang secara geografis cukup dekat, kebanyakan klub dari dua negara ini mengintegrasikan pemain tak haya dari kawasan sekitar, tapi juga seluruh dunia. Saat ini klub papan atas Eropa selain dari benua itu sendiri, biasanya juga punya pemain dari Afrika, Amerika Latin dan bahkan Asia. Tidak mudah menyelaraskan semua elemen ini dan menyatukan mereka dalam satu tim untuk melakukan koordinasi yang baik dan efektif, dalam maupun luar lapangan. Minimnya sinergi tak jarang jadi kendala (yang kerap disepelekan). Bandingkan dengan klub yang sangat kaya akan pemain dari akademi sendiri, seperti Barcelona.

Kunci untuk mengatasi persoalan ini adalah bagaimana seorang pemain asing mampu berpikir dalam bahasa di tempat barunya. Seorang Shinji Kagawa memang otomatis belajar bahasa Inggris, tapi jika dia tidak berpikir dalam bahasa Inggris, maka akan sulit baginya berbaur secara utuh, proses berpikirnya akan sangat berbeda dengan Danny Welbeck. Hal ini sekaligus menjelaskan, mengapa klub-klub Eropa juga mempekerjakan para ahli komunikasi dan psikologi.

2. Penyesuaian Iklim

Poin ini jelas bukan hal sepele. Pemain yang pindah ke luar negeri (lintas kontinental) untuk menetap pasti punya kendala. Di tempat baru, beda bahasa, tak kenal banyak orang, beda makanan pokok, juga beda budaya. Belum lagi tekanan media, ekspektasi fans dan tak jarang pula soal kecocokan keluarga di tempat baru.

Proses ini dialami pemain muda maupun yang lebih senior. Saat ini sudah banyak talenta belia hijrah ke Eropa, baik saat masih usia belasan maupun mulai menginjak usia 20 tahun. Di fase ini, cenderung lebih sulit bagi mereka menetap di rumah baru. Persentase pemain muda eksport yang langsung sukses juga cukup rendah. Kredit lebih untuk Neymar yang sempat menunda kepindahannya, tidak buru-buru bahkan ke negara yang secara kultur mirip dengan Brasil. Tidak semua pemain bisa seperti Ronaldo yang ke PSV saat masih 17 tahun, namun tak butuh waktu lama untuk dapat predikat fenomenal.

Faktor keluarga juga bisa berdampak pada progres pemain dalam sebuah klub. Manchester City tahu betul rasanya. Striker asal Argentina mereka pernah mengalaminya. Ya, Carlos Tevez harus pulang kampung enam bulan karena alasan ingin lebih dekat dengan keluarga. Tak hanya itu, Tevez juga sempat mengalami kendala cuaca dan makanan. Meski sudah beberapa tahun di Inggris dan bergaji tinggi, mantan pemain West Ham ini tetap tak mampu beradaptasi secara utuh. Boleh jadi ini salah satu penyebab Tevez kini memilih Italia, selain persoalan konflik dengan Roberto Mancini.

Minimnya pengetahuan tentang negara tujuan adalah masalah umum seorang pemain asing. Banyak imigran yang hanya tahu sedikit tentang ‘rumah’ barunya, bahkan enggan memanfaatkan bantuan perwakilan duta besarnya, kecuali soal pembuatan kartu identitas. Semakin menjadi karena hingga kini banyak klub besar yang tidak sungguh-sungguh menaruh perhatian pada detil ini.

Dalam buku autobiografinya, Didier Drogba menuturkan tidak ada seorang pun yang benar-benar membantunya dalam mengatasi persoalan mendasar, seperti mencari tempat tinggal. Pemain yang kini berkostum Galatasaray tersebut mendeskripsikan bagaimana pemain sepertinya dan juga William Gallas terpaksa mengandalkan hotel selama beberapa bulan pertamanya, saat baru pinah ke London.

3. Tidak Efisiennya Pasar Transfer

Mengutip Soccernomics, pasar transfer sesungguhnya sangat tidak efisien, di mana pembeli lebih sering tak mendapat nilai sepadan dengan besarnya dana belanja yang dikeluarkan. Satu contoh sederhananya, jika pasar transfer efisien, maka Fernando Torres harusnya sepadan dengan 25 Michu. Implikasi langsungnya adalah beberapa klub bisa mengambil keuntungan dari tidak efisiennya pasar transfer, salah satunya Arsenal.

Ada dua cara untuk melakukan counter attack dalam masalah ini. Pertama, mengalahkan pasar transfer itu sendiri. Memang lagi-lagi lebih mudah diucapkan dari pada melakukannya. Cukup sedikit manajer yang telah melakukannya secara konsisten, bahkan seorang Arsene Wenger pun pernah terpeleset.

Cara lain adalah menjauh dari bursa transfer. Tentu, hal ini membuat sebuah klub harus melirik bakat dari akademi untuk mendapat pemain baru. Tim yang terbukti mampu menggunakan filosofi ini adalah Barcelona. Mereka menjaga jarak sejauh mungkin dengan pasar transfer, dan menerapkan kebijakan beri kesempatan pada pemain belia. Lagi pula track record mereka di bursa transfer terbilang buruk, ingat saja Chygrynskiy, Ibrahimovic, Hleb, dan lain-lain.

Perlahan tapi pasti, kebijakan ini memberi kekuatan besar bagi tim Catalan tersebut, beberapa pemain terbaik mereka lahir dari akademi, dan tak jarang sudah bersinar saat usianya masih muda. Jadi masuk akal jika berpikir Pedro tidak akan punya kesempatan jika Barcelona gemar tebar pesona di bursa transfer, seperti Chelsea dan Manchester City misalnya. Pemain mahal dan bergaji besar di dua tim ini sering menghambat perkembangan talenta muda dari akademi.

Jadi, dengan cara ini Barcelona mengubah ‘kelemahan’ jadi kekuatan besar. Tak hanya menghemat jutaan Dollar untuk beli pemain dan biaya agen, tapi juga menghasilkan pasukan yang kuat, stabil, unik dan mampu bersaing. Hasil menabung bisa untuk peningkatan kualitas akademi, out put-nya adalah tingginya kualitas lulusan akademi yang masih bergaji rendah namun sangat termotivasi bersaing ketat sejak dini untuk masuk skuat utama. Melihat Barcelona, secara teori memang cukup mudah.

4. Gaya Main

Dua klub yang paling mendapat keuntungan dari pembinaan usia muda adalah Ajax dan Barcelona. Tak sekedar tentang Johan Cruyff lagi. Kedua tim punya gaya main yang sangat sulit ditiru, begitu banyak koordinasi, kerja tim sebagai satu kesatuan, dipadu dengan pengetahuan tentang sistem bermain itu sendiri.

Ajax dan Barcelona mendoktrin filosofi ini sejak para pemain masih anak-anak. Mulai dari level junior yang terdiri dari beberapa tingkatan, hingga timm senior, menggunakan formasi dan taktik ama. Konsistensi ini menciptakan keseragaman dan sinergi, memudahkan pemian muda dalam melakukan transisi ke level yang lebih tinggi.

Metode lain yang digunakan dua klub tersebut adalah kerap menempatkan pemain di luar posisi naturalnya. Cara ini punya dua tujuan, pertama membantu pemain punya pengetahuan tentang posisi lain, berguna dalam menciptakan pola permainan satu kesatuan. Tak heran bila Dennis Bergkamp pernah bermain sebagai bek kanan saat masih belia.

Kedua, untuk menciptakan keseragaman skill. Total voetball, tiki taka, atau apa pun namanya, adalah sebuah sistem bermain yang menuntut seluruh pemain mampu bergerak ke semua penjuru lapangan serta punya dasar-dasar skill semua  posisi. Penyerang mampu bertahan dan melepas tackle, sebailknya yang bertahan mampu melepas umpan terukur dan menembak bola ke gawang.

Jika sebuah klub membeli pemain yang menggunakan sistem latihan berbeda di klub sebelumnya, tentu butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Tak jarang mereka gagal sehingga out put-nya pun tidak sesuai dengan harapan.

Tantangan besar yang dihadapi tim dengan pembinaan usia dini kelas atas adalah menjaga pemainnya agar tidak angkat koper di kemudian hari. Ajax yang konsisten menghasilkan talenta luar biasa, kesulitan dalam mempertahankan skuat binaannya. Klub elite negeri kincir angin ini kerap tak mampu membayar gaji setinggi yang ditawarkan klub lainn macam Chelsea, Barcelona, Juventus atau klub-klub besar lain.

Contoh terbaru adalah Dortmund. Dalam beberapa tahun terakhir nama-nama seperti Sahin, Kagawa, Barrios dan Goetze sudah pergi. Malah Lewandowski segera menyusul ke klub rival, Bayern Muenchen. Memang tidak semua pemain tadi berstatus ‘home-grown player’. Namun ini menggambarkan betapa sulitnya meniru apa yang dilakukan Celtic pada masa lampau.

Bahkan saat ini klub besar selalu kesulitan mempertahankan talenta mudanya. Hal ini disebabkan dalam skuat utama sudah bertebar bintang, yang berpotensi menghambat karir pemain muda. Maka terkadang mereka yang sudah lulus dari akademi dengan nilai tinggi, tak keberatan pindah ke klub kecil, paling tidak dianggap langkah awal menuju klub besar. Cukup banyak nama lulusan akademi Chelsea yang rela pindah demi bermain reguler.

Merekrut talenta lokal terbaik agaknya jadi solusi terbaik dalam persoalan ini. Tim-tim Italia merupakan pelopor dari metode ini, dan menikmati sukses besar selama bertahun-tahun. Saat ini Juventus menguasai Serie A dengan pemain-pemain timnas Italia seperti Barzagli, Bonucci, Chiellini, Buffon, Pirlo dan Marchisio.

Bahkan Milan yang kental dengan salah satu kiblat kekuatan sepak bola Italia, jarang menggunakan pemain dari akademinya. Tim yang berhasil menembus final Liga Champions periode 2003 hingga 2007, dibangun oleh tiga punggawa Gli Azzurri, Maldini, Nesta, Inzaghi, Pirlo, dan Gattuso.

Dua gelar Eropa Milan masing-masing 1989 dan 1990 juga dimotori Maldini (lagi), Costacurta, Tassoti, Albertini, Baresi dan Ancelotti. Bayern Muenchen hari ini, memiliki pasukan besar asal Jerman, namun tidak seluruhnya dari akademi sendiri.

Bayern Muenchen Fifa Pembinaan Usia Dini Barcelona Financial Fair Play Lionel Messi Johan Cruyff UEFA Paolo Maldini
Ditulis Oleh

BolaSkor

Admin Bolaskor.com
Posts

11.190

Berita Terkait

Spanyol
Menyesal, Barcelona Ingin Pulangkan Marcus Rashford ke Manchester United
Baru dua bulan, Barcelona dikabarkan sudah berpikir untuk memulangkan Marcus Rashford ke Manchester United.
Yusuf Abdillah - Minggu, 07 September 2025
Menyesal, Barcelona Ingin Pulangkan Marcus Rashford ke Manchester United
Spanyol
Finansial Bermasalah, Barcelona Tidak Punya Uang untuk Rekrut Pengganti Lewandowski
Barcelona kesulitan keuangan dan tak mampu mencari pengganti Robert Lewandowski. Simak kondisi finansial Blaugrana dan opsi pemain yang tersedia.
Johan Kristiandi - Minggu, 07 September 2025
Finansial Bermasalah, Barcelona Tidak Punya Uang untuk Rekrut Pengganti Lewandowski
Internasional
Konfirmasi, Lionel Messi Tidak Akan Perkuat Timnas Argentina
Lionel Messi tidak akan memperkuat Timnas Argentina saat melawan Ekuador di kualifikasi Piala Dunia 2026 zona CONMEBOL. Sang kapten memilih beristirahat usai tampil gemilang lawan Venezuela.
Johan Kristiandi - Sabtu, 06 September 2025
Konfirmasi, Lionel Messi Tidak Akan Perkuat Timnas Argentina
Piala Dunia
Debut dan Main Bareng Lionel Messi, Satu Hari yang Spesial untuk Wonderkid Real Madrid
Wonderkid Real Madrid, Franco Mastantuono, memainkan debutnya dengan timnas Argentina dan juga bermain bersama Lionel Messi.
Arief Hadi - Jumat, 05 September 2025
Debut dan Main Bareng Lionel Messi, Satu Hari yang Spesial untuk Wonderkid Real Madrid
Piala Dunia
Lionel Messi Beri Indikasi Tak Bermain di Piala Dunia 2026
Lionel Messi berbicara soal kans bermain di Piala Dunia 2026 usai membawa Argentina menang 3-0 atas Venezuela.
Arief Hadi - Jumat, 05 September 2025
Lionel Messi Beri Indikasi Tak Bermain di Piala Dunia 2026
Piala Dunia
Hasil Kualifikasi Piala Dunia 2026: Lionel Messi Cetak Brace, Argentina Bekuk Venezuela
Argentina mencatat kemenangan 3-0 atas Venezuela dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona CONMEBOL di Estadio Monumental, Jumat (5/9) WIB.
Yusuf Abdillah - Jumat, 05 September 2025
Hasil Kualifikasi Piala Dunia 2026: Lionel Messi Cetak Brace, Argentina Bekuk Venezuela
Jadwal
Jadwal Siaran Langsung dan Link Live Streaming Argentina vs Venezuela, Jumat 5 September 2025
Link live streaming serta jadwal siaran langsung langsung laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Argentina vs Venezuela di Estadio Monumental.
Arief Hadi - Jumat, 05 September 2025
Jadwal Siaran Langsung dan Link Live Streaming Argentina vs Venezuela, Jumat 5 September 2025
Piala Dunia
Kualifikasi Piala Dunia 2026: Venezuela Ingin Hentikan Euforia Messipalooza
Lionel Messi berpotensi memainkan laga terakhirnya di Kualifikasi Piala Dunia 2026 saat laga Argentina vs Venezuela.
Arief Hadi - Kamis, 04 September 2025
Kualifikasi Piala Dunia 2026: Venezuela Ingin Hentikan Euforia Messipalooza
Spanyol
Legawa, Robert Lewandowski Tak Masalah jika Jarang Main di Barcelona
Penyerang berusia 37 tahun, Robert Lewandowski, legawa dan menerima nasib jika jarang main di Barcelona.
Arief Hadi - Kamis, 04 September 2025
Legawa, Robert Lewandowski Tak Masalah jika Jarang Main di Barcelona
Spanyol
Terungkap, Robert Lewandowski Tolak Tawaran Gaji Rp1,9 Triliun demi Bertahan di Barcelona
Robert Lewandowski menolak tawaran gaji Rp1,9 triliun per musim dari klub Arab Saudi demi bertahan di Barcelona. Striker Polandia itu fokus menyelesaikan kontraknya hingga 2026.
Johan Kristiandi - Kamis, 04 September 2025
Terungkap, Robert Lewandowski Tolak Tawaran Gaji Rp1,9 Triliun demi Bertahan di Barcelona
Bagikan