Analisis Feature Piala Dunia Internasional Berita

Timnas Uruguay Rasa Italia di Piala Dunia 2018: Penguasaan Bola Bukan Jaminan Kemenangan

Arief Hadi - Rabu, 04 Juli 2018

BolaSkor.com - Anda pendukung setia timnas Italia? Jika Anda kecewa karena Italia gagal lolos Piala Dunia 2018, tidak perlu khawatir. Masih ada timnas Uruguay yang masih bertahan di Piala Dunia 2018 dan lolos ke perempat final.

Mengapa Uruguay? Bukankah mereka tim yang menyingkirkan Italia di penyisihan grup Piala Dunia 2014? Betul, Uruguay memang menyingkirkan Italia kala itu. Tapi, sejak momen tersebut, identitas bermain Italia seolah pindah ke Uruguay melalui 'cokotan' Luis Suarez kepada Giorgio Chiellini.

Uruguay satu dari empat atau lima tim yang lolos ke perempat final dengan sistem bermain anti-penguasaan bola. Tema ini sedang menjadi tren di Piala Dunia 2018: tim-tim yang mengagungkan penguasaan bola, kalah dari tim yang bermain efisien, efektif ketika melancarkan serangan balik, dan kuat ketika bertahan.

Dalam tulisan Liam Rosenior, bek Brighton & Hove Albion, di Guardian, fakta memperlihatkan 38 gol yang tercipta di laga pertama seluruh penyisihan grup Piala Dunia 2018, 21 (53 persen) di antaranya tercipta dari situasi bola mati. Peningkatan dari Piala Dunia 2014 (25 persen).

Artinya, lebih banyak tim yang mencoba memaksimalkan situasi bola mati untuk mencetak gol, dengan memperkuat sisi bertahan. Andil VAR (Video Asisten Wasit) memang ada di balik peningkatan situasi bola mati itu.

Akan tapi, fakta bahwa tim-tim yang memiliki persentase penguasaan bola yang tinggi per laganya, seperti Spanyol, Jerman, Argentina, Swiss, tersingkir di Piala Dunia 2018 sudah memperlihatkan perubahan radikal dalam permainan sepak bola di era modern. Selanjutnya Next Page

"Mengingat apa yang sudah kita semua lihat situasi bola mati terjadi karena permainan pragmatis dan lebih mudah dikontrol ketimbang tim yang bermain terbuka (ofensif), maka ada kemungkinan (salah satu di antara) tim-tim tersebut merayakan sukses mereka selama bertahun-tahun ke depan, ketimbang menanti kesuksesan empat tahun lagi," ucap Rosenior.

Spanyol contohnya. Juara bertahan Piala Dunia 2010 serta Euro 2008 dan 2012, menjadi korban kegagalan 'move on' dari permainan tiki-taka yang mempopulerkan mereka dalam kurun waktu tersebut. La Furia Roja disingkirkan tuan rumah, Rusia, via drama adu penalti dengan skor 3-4, setelah laga berakhir imbang 1-1 di waktu normal.

Cara Spanyol tersingkir sudah menggambarkan bagaimana tingkat kesuksesan tim-tim anti-penguasaan bola di Piala Dunia 2018. Spanyol mendominasi penguasaan bola mutlak 79 berbanding 21 Rusia, melepaskan 23 tendangan dan sembilan tendangan tepat sasaran, serta melakukan total 1113 operan sukses berbanding 291 Rusia. Tapi, apa yang terjadi?

Spanyol tidak mampu menjebol gawang Igor Akinfeev, kiper Rusia. Bahkan satu-satunya gol mereka lahir dari bunuh diri bek berusia 38 tahun Rusia, Sergei Ignashevich. Akinfeev lah pahlawan kemenangan Rusia kala menggagalkan dua penalti Spanyol yang diambil Koke dan Iago Aspas.

Jika sudah seperti itu, apa gunanya bermain dengan penguasaan bola? Dalam kasus Spanyol, tiki-taka. Pelaku yang pernah memeragakan permainan itu, Cesc Fabregas, sampai mengakui kalau tiki-taka sudah basi.

"Mereka (Spanyol) menguasai penguasaan bola, saya fans besar tiki-taka, permainan yang indah, tapi, tidak ada yang terjadi (pada laga Rusia kontra Spanyol). Kita semua tidak melihat bahaya apapun dari timnas Spanyol, terlepas dari tandukkan Diego Costa dan satu tendangan dari luar kotak penalti Isco," terang Fabregas.

"Ada beberapa kesempatan untuk maju ke depan, Diego Costa melakukan pergerakan (tanpa bola), begitu juga pemain lain. Tapi, yang mereka lakukan malah mengirim bola kembali ke belakang dan hanya ingin menginginkan penguasaan. Saya pikir tadi itu lebih penguasaan bola untuk bertahan ketimbang menyerang, ini seharusnya digunakan sebaliknya."

Kekurangan Spanyol melakukan keberanian dalam melakukan penetrasi, justru terlihat kepada tim-tim yang sejauh ini lolos ke perempat final. Uruguay, Prancis, Brasil, Belgia, dan Swedia lolos karena efisiensi bermain mereka dalam mengubah peluang - sekecil apapun - menjadi gol. Beberapa di antaranya, memiliki pemain ofensif yang lincah.

Jika benar demikian, bukankah kiblat sepak bola saat ini bisa dikatakan kembali ke era catenaccio Italia? Mungkin saja. Aplikasi dan filosofi bermain tiap tim berbeda. Tidak semuanya mengikuti catenaccio ala Nereo Rocco, Helenio Herrera, atau Dino Zoff.

Catenaccio berbeda dengan istilah parkir bus yang benar-benar bermain dengan pendekatan super bertahan. Parkir bus hanya dibuat oleh publik karena permainan sebuah tim yang sama sekali tidak punya niatan menyerang, mencetak gol, melainkan hanya mengamankan poin yang dibutuhkan.

Sementara catenaccio, bermain dengan level taktikal yang sangat tinggi dan dibutuhkan fokus serta disiplin yang kuat, khususnya dalam memahami posisi bermain. Ketika lawan frustrasi, maka serangan balik akan dilancarkan untuk mencetak gol seefisien mungkin.

Contoh permainan itu bisa dilihat Uruguay ketika menyingkirkan Portugal dengan skor 2-1 di 16 besar. La Celeste - julukan Uruguay - bermain layaknya Italia saat menghentikan permainan Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan.

Uruguay 'Rasa' Italia

Simak pernyataan dari pelatih Uruguay, Oscar "El Maestro" Tabarez di bawah ini.

"Saya pikir seringkali ada asumsi yang salah dengan pikiran penguasaan (bola) dapat mengarahkan kepada kesempatan mencetak gol."

"Saya belajar di Italia ketika saya bekerja di sana. di Italia, penguasaan bola tidak diagungkan seperti di tempat lainnya. Bahkan di saat Anda tidak banyak memiliki penguasaan, Anda bisa memberikan luka kepada lawan Anda."

Penjelasan yang cukup terperinci. Tidak heran Tabarez dijuluki El Maestro yang artinya Sang Guru. Berkat pengalamannya melatih Cagliari (dua periode) dan AC Milan, Tabarez mendapatkan ilmu berharga soal wawasan taktik serta identitas bermain Italia yang berasal dari liga mereka, Serie A.

Portugal seolah mengalami deja vu ketika kalah 0-1 dari Yunani-nya Otto Rehhagel di final Euro 2004. Dibiarkan menguasai bola sebesar 68 persen oleh Uruguay, Portugal justru kalah efektif dengan dua gol indah yang dilesakkan Edinson Cavani melalui dua pola bermain sederhana: serangan balik dan umpan silang dari satu striker ke striker lainnya.

Uruguay hanya melepaskan lima tendangan dan tiga di antaranya tepat sasaran (dua berbuah gol). Sedangkan Portugal melepaskan 20 tendangan dan lima di antaranya tepat sasaran. Namun, Portugal hanya bisa mencetak gol dari tandukkan kepala Pepe melalui situasi bola mati.

Selain efiensi dan kombinasi maut dua striker kelas dunia, Luis Suarez dan Cavani, kunci sukses Uruguay dalam menangkal serangan Portugal hingga mereka terpaksa bermain dari sisi sayap, ada pada sektor tengah yang diisi empat gelandang petarung.

Lucas Torreira, Nahitan Nandez, Rodrigo Bentancur, dan Matias Vecino, tidak kenal lelah menyisir zona di lini tengah dalam fase bertahan atau transisi ke penyerangan. Keempatnya merupakan penerjemah gaya bermain yang diinginkan Tabarez.

Uruguay memainkan high pressing dan agresivitas dalam menghadang tiap serangan Portugal. Mereka melakukan total 21 tekel pada laga tersebut. Dinamika pergerakan mereka sangat membantu tim secara menyeluruh: pekerjaan lini belakang sedikit berkurang, lini depan bisa fokus mencetak gol. Zona pergerakan mereka bisa dilihat di heatmap yang dicantumkan Whoscored.

Bukan hanya pengalaman Tabarez di Italia membantu permainan taktis Uruguay, namun juga, dia terbantu dengan fakta sebagian besar pemain dalam skuat pernah atau sedang bermain di Serie A. Diego Laxalt, Lucas Torreira, Matias Vecino, Rodrigo Bentancur, Martin Caceres, bermain di Serie A saat ini.

Sedangkan Fernando Muslera, Cavani, dan Cristhian Stuani pernah bermain di Serie A. Keberadaan mereka kian memudahkan Tabarez untuk menerapkan permainan ala Italia yang diinginkannya.

Melihat statistik yang diperlihatkan Uruguay, yang belum pernah kalah sepanjang Piala Dunia 2018 dan baru kebobolan satu gol, mereka sedianya jadi calon kuat juara tahun ini. Solidnya pertahanan yang digalang duo Atletico Madrid, Diego Godin dan Jose Maria Gimenez, bisa jadi kunci sukses Uruguay.

Prancis, yang akan jadi lawan Uruguay di perempat final, jelas harus memasang status siaga satu jika tak mau bernasib sama dengan Portugal. Uruguay bisa memaksa Prancis untuk memainkan penguasaan bola hingga pertahanan mereka terbuka, lalu rawan diserang balik.

Bagikan

Baca Original Artikel