Ragam Feature

Sejarah Sepak Bola: Narasi Tragedi Superga, Pemutus Mata Rantai Il Grande Torino

Johan Kristiandi - Jumat, 04 Mei 2018

BolaSkor.com - Hari ini, Jumat 4 Mei 2018, hingga saya membuat tulisan ini tidak ada kejadian besar yang terjadi di Indonesia, khususnya Jakarta.

Akan tetapi, jika kita memiliki mesin waktu dan menuju Turin pada 4 Mei 1949, mungkin Anda akan melihat satu kota meratapi kejadian pilu yang menimpa klub kebanggaan masyarakat Turin, Torino.

4 Mei 1949, menjadi satu di antara hari paling kelam dalam sejarah sepak bola dunia, khususnya Italia. Sebuah pesawat yang mengangkut tim terbaik di Italia kala itu, Torino, menabrak puncak gunung Superga.

Kejadian bermula ketika Torino dalam perjalanan pulang ke Italia usai bertanding melawan Benfica pada laga perpisahan Francisco Jose Ferreira. Namun, ketika pesawat mulai memasuki langit Italia, terdapat kabut tebal yang menghalangi pandangan pilot.

Burung besi yang seharusnya mendarat di Aeritalia, Turin, tersebut akhirnya menabrak gunung Superga akibat terbang terlalu rendah karena ingin melakukan pendaratan darurat.

Total, 31 penumpang meninggal pada tragedi tersebut. Sebagaian besar korban meninggal adalah pemain utama Il Grande Torino (julukan yang diberikan publik Italia karena prestasi Torino). Selain itu, tiga orang jurnalis, dua orang pilot dan dua orang awak pesawat juga menjadi korban kecelakaan tersebut.

Sebagai penghormatan kepada para korban, lebih dari 500 ribu orang hadir pada acara pemakaman. Bahkan satu di antara perusahaan otomotif, Fiat, menghentikan produksi selama satu menit sebagai tanda penghormatan kepada seluruh korban. Selain itu, toko-toko di seluruh Turin ditutup sepanjang hari pemakaman.

Pada acara kebaktian pemakaman, ketua asosiasi sepak bola Italia, Ottorino Berassi, memberikan beberapa kalimat untuk mengenang jasa-jasa para korban bagi sepak bola Italia. Dengan air mata mengalir di pipi, Berassi mengumumkan jika Torino adalah juara Serie A 1948-1949.

"Sebelum orang-orang terbaik meninggalkan kita selamanya, sebelum kita semua mengucapkan selamat tinggal terakhir, saya akan melakukan tugas yang berat. Saya mengumumkan kepada Anda, saudara terkasih jika Torino telah memenangi scudetto kelima. Torino telah memenanginya sekali lagi," tutur Berassi.

"Saya melihat para anak muda akan belajar dari Anda seni luhur dari sepak bola. Saya melihat jika mereka akan belajar dari Anda apa itu kesetiaan, kemauan dan cinta yang mendalam untuk olahraga," imbuhnya.

Kala itu, Torino bermaterikan pemain terbaik di Italia. Dua mesin serangan diisi oleh Ezio Loik dan Valentino Mazzola. Loik dikenal sebagai pemain yang memiliki kemampuan individu di atas rata-rata dan mampu berlari dengan cepat. Sementara itu, Mazzola bertugas untuk membangun serangan dari lini tengah. Bahkan pada musim 1946-1947, sang pemain menjadi capocannoniere dengan mendulang 29 gol.

Di depan kedua pemain tersebut, kemampuan mencetak gol dari Guglielmo Gabetto yang diapit oleh dua sayap, Franco Ossola dan Romeo Menti menjadi momok menakutkan bagi pertahanan lawan.

Sementara itu, di lini belakang, Torino memiliki Aldo Ballarin yang dikenal sebagai full-back yang tenang dan tanpa basa-basi. Adapaun Virgilio Maroso, ketika itu, dianggap sebagai pemain muda yang tengah naik daun dengan keunggulan pada umpan yang akurat. Di antara kedua pemain tersebut, berdiri sosok yang tangguh yakni Mario Rigamonti.

Untuk urusan penjaga gawang, Valerio Bacigalupo menjadi pemain yang tidak tergantikan. Bacigalupo dikenal sebagai penjaga gawang berkaliber tinggi dan kehadirannya membuat barisan pertahanan bermain dengan perasaan aman.

Kemampuan individu para pemain tersebut menjadi satu kesatuan di dalam taktik Erno Egri Erbstein. Sang pelatih adalah mantan tentara Hunggaria pada era perang dunia. Ia pernah memimpin pelarian dari tempat penampungan kerja paksa dan bersama anak istrinya meninggalkan rumah sosial yang ketika itu menjadi sasaran pasukan fasis.

Strategi perang yang dikantonginya berhasil diaplikasikan pada taktik di lapangan. Erbstein terkenal garang namun memiliki kemampuan membaca permainan yang baik. Bahkan beberapa orang menilai Il Grande Torino tidak akan pernah menjadi Grande tanpa kehadiran sang allenatore.

Pelatih Torino, Erno Egri Erbstein (tengah). (Thesefootballtimes)

"Mereka memiliki pelatih di surga bernama Ergi Erbstein. Orang Hunggaria tersebut adalah satu di antara orang yang tersenyum dan menaklukan Anda pada pandangan pertama," kata Ettore Puricelli, mantan pemain tim nasional Italia yang beberapa kali menghadapi Torino pada era 40-an.

"Dia adalah pelatih yang memiliki kemampuan komunikasi yang hebat. Dia menerapkan sistemnya dengan cara yang sangat pribadi. Selain itu, dia adalah pencari bakat yang luar biasa. Dia pergi mencari para juara dan menemukan mereka di mana-mana," sambung Puricelli.

Efek Positif

Sandro Mazzola. (Thesefootballtimes)

Dengan ciri khas kumis tebal dan rambut yang sedikit mengembang, tentu tidak akan sulit untuk mengenali Sandro Mazzola, legenda Inter Milan sekaligus anak dari korban tragedi Superga, Valentino Mazzola.

Sandro Mazzola lahir di Turin pada 8 November 1942, satu pekan setelah ayahnya meneken kontrak dengan Torino. Terbiasa melihat Mazzola senior beraksi di lapangan hijau, Mazzola junior berambisi untuk mengikuti jejak karier sang ayah.

Duo Mazzola tersebut memiliki gaya permainan yang berbeda. Pergerakan Valentino Mazzola memancarkan ketenangan di lapangan. Melesat melewati pemain lawan dan mendominasi permainan dengan cara khas pemain Italia kala itu. Valentino Mazzola adalah cerminan dari filosofi calcio. Hingga ajal menjemput, Valentino Mazzola mendulang 118 gol dalam 195 penampilan untuk Il Granata.

Bagi Sandro, Valentino adalah sosok ayah yang jauh di mata namun dekat di hati. Sebab, Valentino memutuskan untuk bercerai dengan sang istri pada 1946. Namun, hal tersebut tidak menjadi halangan bagi Valentino untuk membagi ilmu sepak bolanya kepada sang anak.

"Ayah saya mengajari hal-hal mendasar dalam dunia sepak bola. Untuk itu, saya selalu berutang kepadanya. Saya membangun karier bermodalkan kemampuan yang diajarkan olehnya," ujar Sandro Mazzola kepada Gazzetta Dello Sport.

"Tidak ada pilihan lain, saya harus menemukan kedamaian di lapangan dan berusaha menjalin ikatan dengan ayah saya. Kami hanya memiliki waktu yang sedikit untuk bersama-sama," kata sang legenda.

Valentino Mazzola (Thesefootballtimes)

Kisah cinta tanpa akhir antara Sandro Mazzola dan Inter Milan bermula ketika penyerang La Beneamata, Benito Lorenzi, mengunjungi rumah Mazzola untuk memberikan penawaran usai kepergian sang ayah.

"Suatu hari, Benito Lorenzi, pemain depan yang bermain bersama ayah saya di timnas Italia datang ke rumah. Dia meminta ibu saya untuk membiarkan saya pergi ke Milan untuk menjadi anak gawang tim. Giuseppe Meazza juga tergerak hatinya atas tragedi Superga dan datang membantu saya dan saudara saya," kata Mazzola.

"Kami berdua memakai perlengkapan Inter dan berjalan keluar dengan para pemain dan berdiri di sisi lapangan selama pertandingan. Bahkan, sebagai anak gawang, kami bisa mendapatkan 10 ribu lira untuk kemenangan dan 5 ribu lira untuk hasil imbang. Itu adalah uang yang sangat banyak bagi keluarga kami."

Kemurahan hati yang ditunjukkan Meazza dan Inter sudah cukup untuk meyakinkan Sandro bahwa masa depannya akan selamanya di Inter.

Setelah 12 tahun berselang, Mazzola melakukan debutnya ketika Inter bersua Juventus pada 1961. Ia menjadi pilihan pelatih Inter Milan ketika itu, Helenio Herrera, yang terkenal tak mudah memberikan kepercayaan bagi pemain.

Bersama dengan Luis Suarez, Mario Corso, Armando Picchi dan Giancinto Facchetti, Mazzola menjadi tulang punggung Nerazzurri ketika menguasai Italia dan Eropa pada 1960-an. Sandro Mazzola membawa Inter Milan memenangi Liga Champions atau yang dulu dikenal dengan nama Piala Eropa pada 1964 dengan predikat sebagai top scorer.

Satu tahun kemudian, Inter kembali mempertahankan gelar tersebut sekaligus melegitimasi jika Mazzola adalah satu di antara pemain terhebat dalam sejarah sepak bola Italia.

Kini, Mazzola melanjutkan karier sebagai komentator dan pandit di Rai TV. Meski telah lama meninggalkan dunia si kulit bundar, Mazzola tetap mengingat peran sang ayah.

"Saya lebih dekat dengan Valentino melalui sepak bola. Mungkin saya bisa belajar dan menjadi sesuatu yang lain, tetapi saya tidak tahu apakah saya akan merasa damai. Saya merasa dekat dengan ayah saya. Sepak bola menyatukan kami," ungkap Mazzola kepada Rai TV.

Seperti kata pepatah, setelah badai akan datang pelangi yang indah, begitu pula dengan kehidupan Sandro Mazzola. Keluarga Mazzola merasakan "efek positif" yang berujung dengan cerita manis dari tragedi Superga.

Penantian Panjang Il Grande Torino Jilid 2

Torino masih tampil terseok-seok di Serie A. (Thesefootballtimes)

Jika Mazzola meraih kesuksesan bersama Inter Milan, lantas, bagaimana nasib Torino? Tidak seperti Manchester United yang berhasil bangkit setelah tragedi kecelakaan pesawat di Munich, Torino justru masih dalam tidur panjang.

The Red Devils mampu memenangi Piala Eropa sekitar 10 tahun setelah tragedi kecelakaan dengan bermaterikan beberapa pamain bintang seperti Denis Law dan Sir Bobby Charlton.

Sementara itu, kondisi berbanding 180 derajat ditunjukkan Il Granata. Pada 2005, Torino dinyatakan bangkrut dan terdegradasi ke serie B. Kejadian tersebut membuat para petinggi klub memutuskan untuk mengganti nama menjadi Torino Football Club.

Sejak kejadian Superga, Torino hanya satu kali memenangi Serie A pada 1976. Selain itu, klub yang bermarkas di Stadio Olimpico Grande Torino tersebut hanya menjadi klub medioker dan tampil terseok-seok.

Performa Torino mulai stabil pada era Gian Piero Bentura yang menakhodai Andrea Belotti dan kawan-kawan sejak 2011 hingga 2016. Ventura adalah ahli taktik yang terampil dan terkenal dengan formasi 4-2-4 yang dapat berubah menjadi 3-5-2, taktik klasik yang beken di Italia pada masa lampau.

Setelah Ventura, tongkat estafet kepelatihan berganti dari Sinisa Mihajlovic ke Walter Mazzari, pelatih Torino saat ini.

Bagi Anda yang masih mengingat Liga Europa 2014-2015, Torino penah menembus babak 16 besar. Meski akhirnya harus kalah dari Zenit Saint Petersburg dengan agregat 2-1, namun performa wakil Italia tersebut cukup apik.

Positifnya, bisnis Torino di bursa transfer bisa dibilang cukup menjanjikan. Mendatangkan pemain dengan dana minim, Torino berhasil melepasnya dengan harga berkali-kali lipat.

Contohnya adalah Alessio Cerci dan Matteo Darmian. Kedua pemain tersebut dilepas ke klub peminat dengan harga yang cukup tinggi. Menurut kabar yang beredar, Torino mendapatkan 12,7 juta pounds dari Manchester United terkait transfer Darmian.

Satu di antara kerinduan terbesar bagi suporter Torino adalah bersaing dengan saudara satu kota, Juventus. Mungkin kenangan yang masih segar dalam ingatan para suporter adalah ketika mengalahkan Juventus pada Copa Italia 2015. Kemenangan tersebut menjadi yang pertama sejak musim 1994-1995.

Mungkin suatu hari nanti, kita dapat melihat laga Derby Della Mole sebagai pertandingan penentu pemenangan Serie A atau setidaknya dapat menyaingi Derby Madonnina dalam hal daya tarik dan pendapatan.

Selain itu, tentu suporter Torino masih bermimpi untuk mengulangi pencapaian pada Il Grande Torino jilid satu, seperti apa yang pernah ditorehkan Valentino Mazzola, Ernest Erbstein dan Gigi Meroni. Alziamoci Torino! Forza Torino!

Kegagalan dalam kehidupan umumnya terjadi pada orang yang tidak menyadari seberapa dekatnya mereka dengan kesuksesan di saat mereka menyerah. - Thomas A. Edison

Non Mollare Mai Torino!

Bagikan

Baca Original Artikel