Piala Dunia Sosok Feature

Pierluigi Collina, Wakil Tuhan di Lapangan Hijau

Johan Kristiandi - Sabtu, 02 Juni 2018

BolaSkor.com - Mata membelalak, Postur tinggi serta kepala plontos menjadi sosok yang selalu dilihat pada pertandingan bergengsi periode 1995 hingga 2005. Ya, dia adalah Pierluigi Collina, wasit yang saat itu tak tergantikan berkat kepemimpinan yang adil serta tegas. Collina dikenal piawai dalam mengendalikan ego, kemarahan, serta rasa frustrasi para bintang lapangan hijau.

Jika mencomot tokoh dalam dunia film, Collina adalah jelmaan dari 'The Scream' karya Edcard Munch. Kepala botak, mata besar yang menimbulkan tatapan dingin seolah-olah bisa melihat isi hati pemain dan membuat mereka mengangguk setuju dengan perintah sang pengadil.

Pria asal Bologna tersebut mampu menjadi pemimpin pertandingan yang dihormati, bahkan tidak segan untuk melakukan kontak fisik demi mengatur para pemain, suatu hal yang jarang terlihat pada dunia sepak bola dengan level kelas wahid.

Collina lahir dari seorang ibu yang berprofesi sebagai guru, adapun ayahnya adalah pekerja di Kementerian Pertahanan Italia. Dia lulus dari pendidikan yang dipimpin oleh biawarawati. Dengan latar belakang tersebut, Collina kecil tumbuh menjadi seorang yang berpegang teguh pada tata tertib peraturan.

Sebagai seorang anak, Collina tak jauh berbeda dari rekan sebayanya. Dia adalah bocah yang punya mimpi menjadi pemain sepak bola profesional. Selalu menjadi yang tertinggi di antara teman-temannya, Collina remaja kerap berposisi sebagai gelandang ketika sedang bermain si kulit bundar.

Namun, takdir berkata lain. Collina harus mengubur cita-cita masa kecilnya untuk menjadi pesepak bola karena berbagai faktor (Contoh: persaingan yang ketat). Kenyataan pahit itu membuat Collina sempat berkecil hati. Dia gamang dalam menentukan langkah ke depan.

Collina mencoba mencari jalan lain untuk tetap bersinggungan dengan dunia sepak bola meski tak menjadi pemain. Atas dasar saran dari seorang teman, Collina memutuskan mendaftar menjadi wasit pada usia 17 tahun.

Ternyata, menjadi wasit adalah pilihan yang tepat bagi Collina. Pada 1998, Collina telah menyelesaikan wajib militer yang menjadi keharusan bagi semua pemuda di Italia. Pengalaman tersebut menjadi dasar bagi dia untuk memimpin dengan tenang di tengah kekacauan "perang" dua tim yang bertanding.

Setelah itu, jalan kariernya mudah ditebak. Dengan mulus Collina berhasil promosi dari wasit Serie C2 dan Serie C1 ke Serie A, kompetisi kasta tertingi di negeri pizza tersebut.

Wasit yang Bertransformasi Jadi Prajurit Medis

Pierluigi Collina (Zimbio)

Collina hanya menghabiskan tiga musim sebagai wasit di divisi terendah Italia, sebelum dipromosikan ke Serie B dan Serie A. Sebagai seorang pengadil di lapangan, Collina mengaku hanya mencoba untuk menerapkan peraturan.

"Saya hanyalah seorang pria yang taat peraturan. Anda harus diterima di lapanangan pertandingan, bukan karena menjadi wasit, namun karena mereka memercayai Anda," kata Collina.

Dinilai cakap dalam memimpin pertandingan, pada 1995 Pierluigi Collina berhasil masuk ke dalam daftar wasit FIFA meski baru memimpin 43 pertandingan Serie A.

Tugas berat pada level international perdana untuk Collina adalah pada Olimpiade 1996 di Atalanta. Pada ajang tersebut Collina memimpin sebanyak lima pertandingan termasuk final atara Nigeria kontra Argentina. Lagi-lagi Collina menunjukkan kemampuannya, sang wasit dinilai sukses memimpin pertandingan yang berakhir untuk kemenangan Nigeria tersebut.

Setelah Olimpiade, pada 1998 Collina akhirnya bisa mencicipi menjadi pengadil di ajang paling bergengsi, Piala Dunia. Ketika itu, Collina hanya memimpin dua pertandingan pada fase grup, termasuk pertemuan Belanda kontra Belgia yang berakhir imbang tanpa gol.

Satu tahun berselang, Collina mencapai puncak karier sebagai wasit pada level klub. Ya, dia dipercaya oleh UEFA untuk memimpin pertandingan final Liga Champions antara Manchester United kontra Bayern Munchen.

Bagi Collina, bentrokan antara The Red Devils dan Bayern merupakan pertandingan paling berkesan sepanjang kariernya. Collina tak menyangka Manchester United mampu membalikkan keadaan melalui gol yang dikreasikan Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer pada masa injury time.

"Keadaan yang tidak bisa dipercaya ketika Manchester United keluar sebagai pemenang. Itu seperti auman singa," papar Collina.

Sisi lain dari Collina muncul setelah gol Manchester United berbalik unggul. Kala itu, penggawa Bayern, Sammy Kuffuor membenturkan kepalanya ke lapangan sebagai tanda penyesalan, Carsten Jancker terlihat putus asa dengan air mata yang mengalir di pipinya serta Oliver Kahn hanya duduk terpaku dengan tatapan kosong.

Collina yang melihat kejadian tersebut melakukan hal di luar dugaan. Dia berjalan menghampiri pemain Bayern sembari mengulurkan tangannya untuk membangunkan. Ketika itu, Collina terlihat seperti seorang prajurit medis yang sedang memastikan kondisi pasukannya ketimbang wasit yang mencoba menyelesaikan pertandingan.

Sebagai catatan kaki, Collina melalui hari-harinya sebagai wasit dengan menderita penyakit alopecia areata akut. Penyakit itulah yang menjadi penyebab dari kerontokan rambut yang diderita Collina.

Keluar dari Lingkaran Hitam Calciopoli

Pierluigi Collina (Zimbio)

Setelah final Liga Champions, nama Collina semakin harum. Dia kembali dipercaya untuk ambil bagian di Piala Dunia 2002. Meski hanya menjadi pengadil pada tiga pertandingan, namun Collina adalah wasit pada laga final yang mempertemukan dua negara terbaik saat itu, Brasil dan Argentina.

Secara garis besar, Collina tidak melakukan kesalahan yang membuat pertandingan tak lagi asyik untuk ditonton.

Hingga 2003, ada satu final kompetisi Eropa yang belum pernah dipimpinnya, Liga Europa. Akan tetapi, UEFA memutuskan untuk mengutus Collina sebagai wasit pada final Liga Europa 2004 yang mempertemukan Valencia kontra Olympique Marseille. Ketika itu, Collina mengeluarkan satu kartu merah langsung kepada kiper wakil Prancis, Fabien Barthez.

Sepanjang 1998 hingga 2004, Collina telah dinobatkan sebagai wasit terbaik versi IFFNS sebanyak enam kali. Adapun di Italia, hingga 2005 Collina telah tujuh kali menyabet gelar wasit terbaik. Koleksi 13 penghargaan dalam sembilan tahun membuktikan jika Collina adalah wasit yang mampu memimpin pertandingan dengan tak memihak.

Ketika Collina menginjak usia 45 tahun, Fedarazione Italiana Giuoco Calcio (FIGC) mengambil langkah yang diluar kata lazim dengan menaikkan batas umur wasit menjadi 46 tahun, Dengan begitu, Collina masih dapat memimpin Piala Dunia 2006.

Akan tetapi, bagian kelam dari cerita ini baru dimulai. Pada Agustus 2005, Collina meneken kontrak sponsorship dengan Opel. Pada saat itu, Opel merupakan sponsor utama AC Milan dan FIGC melarang wasit untuk bekerja sama dengan pihak ketiga dengan alasan konflik kepentingan.

Sekali lagi integritas Collina diuji. Pada akhirnya, Collina memutuskan untuk mengundurkan diri dari profesinya sebagai wasit. Sungguh sebuah akhir yang tak seperti cerita manis di negeri dongeng.

Meski sempat menuai kontroversi, Collina tetap membuktikan kejujurannya sebagai seorang pengadil. Pada 2006, Serie A mendapat pukulan keras dengan kasus Calciopoli yang ketika itu dilakukan oleh direktur umum Juventus, Luciano Moggi. Seabrek nama wasit korup tersiar di media-media Italia. Namun tak satu pun yang menyebut nama Pierluigi Collina.

Bersama dengan wasit lainnya, Roberto Rosetti, tangan Collina tetap bersih dari Calciopoli. Bahkan, sikap Collina mencuatkan amarah Moggi yang menyebut jika sang wasit terlalu "objektif".

Profesional Sejati

Pierluigi Collina (Zimbio)

Sejak pensiun, Collina memilih untuk menjadi konsultan tidak berbayar untuk Asosiasi Wasit Sepakbola Italia dan anggota Komite Wasit UEFA. Pria yang kini berusia 58 tahun itu menjadi pembanding utama wasit yang muncul sebelum dan sesudah dirinya. Spesialnya, Collina merupakan satu-satunya wasit yang diminta oleh pemain bintang
seperti David Beckham untuk saling bertukar seragam.

Pada 2011, suami dari Gianna Collina menerima Hall of Fame sepak bola Italia. Itu adalah kehormatan tertinggi untuk bisa disandingkan dengan kapten AC Milan, Paolo Maldini dan kiper legendaris Gli Azzurri, Dino Zoff, yang memenangi Piala Dunia 1982.

Sebagai sebuat testimoni dari kehebatan Collina, ada baiknya untuk mengutip pernyataan Graham Poll yang menjadi wasit keempat ketika Jepang menghadapi Turki pada Piala Dunia 2002.

"Dia menggambar susunan pemain di papan. Dia memberi tahu kami bagaimana mereka akan bermain, siapa karakter yang berapi-api, di mana kemungkinan titik emosi. Collina adalah apa yang diharapkan setiap asisten terjadi di pihaknya. Dia mengetahui segalanya. Itu luar biasa dan lebih jauh lagi dia tidak salah," papar Graham Poll.

Sebagai epilog dari tulisan ini, jika di dunia hukum ada jargon yang berbunyi 'hakim adalah wakil Tuhan di dunia', Pierluigi Collina adalah sosok nyata dari wakil Tuhan di lapangan hijau yang bertugas menghakimi yang benar dan salah.

Bagikan

Baca Original Artikel