Ole Gunnar Solskjaer, Gennaro Gattuso di Milan atau Zinedine Zidane di Real Madrid?
BolaSkor.com – “You are my Solskjaer, my Ole Solskjaer, you make me happy, when skies are grey, so please don’t take, my Solskjaer away.” Pecinta lawas Manchester United pastilah sangat memahami lirik lagu (chant) itu. Lirik khusus untuk Solskjaer dan juga penanda ... era kejayaan Man United di bawah rezim Sir Alex Ferguson.
Fans Man United sedang ‘sombong-sombongnya’ kala itu karena mereka tahu, sedang bermain buruk atau performa sedang menurun, Man United selalu bisa bangkit dan meraih trofi. Era yang dimaksud itu terjadi pada medio 90-an hingga 2000-an.
Akan tapi yang namanya sebuah era, dinasti, atau rezim, pastilah akan runtuh. Contoh di dunia ini banyak, dalam bentuk sejarah misalnya: kematian tiga pemersatu Jepang di abad 16 Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi, dan Tokugawa Leyasu ketika ketiganya sedang berkuasa di Negeri Sakura.
Baca Juga:
Kembalinya Supersub, Profil Singkat Perjalanan Karier Ole Gunnar Solskjaer
Pendapat Cristiano Ronaldo soal Manajer Anyar Man United, Ole Gunnar Solskjaer

Adolf Hitler yang dahulu berkuasa di Jerman dan sebagian besar Eropa pun tak mampu mempertahankan dinastinya. Intisari dari kedua catatan sejarah itu adalah: tidak ada yang abadi. Roda kehidupan berputar.
Man United pun demikian. Sejak ditinggal Ferguson pensiun pada 2013 – setelah 26 tahun melatih klub, barangkali fans ekstrimis Man United sudah tahu, cepat atau lambat klub kesayangan mereka akan menurun – dalam berbagai aspek. Stagnansi itu benar terjadi.
Ketika Man United tidak lagi berada di level yang semestinya, klub-klub lain seperti Manchester City, Tottenham Hotspur, hingga rival bebuyutan, Liverpool, berbenah menaikkan level bermain mereka ke level yang jauh lebih tinggi. Hasilnya bisa terlihat musim ini.
Man United, yang mungkin masih merasa tim yang tangguh dan kuat seperti dahulu kala (gagal move on), tidak berkembang dan akhirnya kalah dari tim-tim rival. 17 pekan Premier League berlalu, Man United ada di peringkat enam dengan jumlah kebobolan 29 gol dan terpaut 19 poin dengan Liverpool di puncak klasemen.
Karier Jose Mourinho berakhir setelah dua tahun lamanya. Pemecatannya menjadi bukti sahih jika Man United sudah jauh berubah dari tim yang dahulu kala hanya dikuasai satu manajer (Ferguson), menjadi tim yang gemar gonta ganti pelatih.
Pemecatan Mourinho dan penunjukan Solskjaer menjadikan legenda klub pada medio 1996-2007 itu sebagai manajer kelima yang melatih Man United dalam kurun waktu lima tahun. Lima manajer dalam waktu lima tahun sangat bukan Man United sekali (tidak ada maksud menyindir Chelsea).
Apapun itu, yang sudah biarlah berlalu, mari bersama nyanyikan lagu Bunga Citra Lestari berjudul “Yang Lalu Biarlah Berlalu”.
Benar, gairah fans Man United saat ini sedang meningkat kembali bak bertemu kekasih baru dan move on dari yang lama. Solskjaer, dari segi sejarah, lebih mengetahui dapur Man United ketimbang Mourinho.
Logikanya, Solksjaer diharapkan bisa membangkitkan performa klub lebih baik dari Mourinho. Jonas Giever, penulis The Guardian, dengan yakinnya berkata dalam artikelnya, “Ole Gunnar Solskjaer akan mempersatukan pemain-pemain United, tidak menjatuhkan mereka.”
Pertanyaannya adalah “Benarkah demikian?”
Bisa Jadi Gennaro Gattuso atau Zinedine Zidane
Solskjaer, dengan kepribadiannya yang terbilang kalem, memang sepertinya tidak akan menjatuhkan para pemain Man United dengan melontarkan ucapan-ucapan kejam di depan media. Tapi, tidak ada jaminan baginya sukses di karier kepelatihan bersama Man United.
Tren mantan pemain, atau legenda, jadi pelatih mantan klubnya sudah bukan hal yang asing lagi terjadi di era sepak bola modern. Solskjaer bukan yang pertama. Sebelumnya, ada Pep Guardiola, Antonio Conte, Thierry Henry, Filippo Inzaghi, Niko Kovac, Gennaro Gattuso, dan Zinedine Zidane.
Membandingkan dua nama terakhir, atau juga Henry dan Guardiola, menarik untuk dinanti ke mana arah Solskjaer dengan Man United. Gattuso dan Zidane menuju dua arah yang berbeda ketika melatih mantan-mantan klub yang pernah dibawanya sukses sebagai pemain, AC Milan dan Real Madrid.

Ketika Zidane sukses mempersembahkan tiga titel Liga Champions beruntun dan satu LaLiga, Gattuso sama sekali tidak memperlihatkan indikasi membawa Milan meraih trofi. Memang, Zidane sudah terlebih dahulu melatih Madrid ketimbang Gattuso, plus skuat Madrid sudah jauh lebih mapan ketimbang Milan.
Walaupun demikian, membandingkan keduanya sangatlah bertolak belakang di level kepelatihan. Zidane tahu persis cara memotivasi pemain dan tahu cara memaksimalkan potensi bermain yang dimiliki timnya. Sementara Gattuso hanya memberi semangat dan tekad bermain kuat, tanpa mampu memaksimalkan skuat yang dimilikinya.

Satu lagi garis linear keduanya, baik Zidane atau Gattuso juga diangkat ke tim utama setelah sebelumnya melatih tim muda. Zidane melatih Real Madrid Castilla dan Gattuso Milan Primavera. Solskjaer juga sama karena dia pernah melatih tim cadangan Man United.
Jadi, menarik untuk dinanti kiprah Solskjaer dengan Man United sampai akhir musim 2018-19 – sesuai dengan kontrak yang diberikan Man United sebagai manajer interim (sementara).
Sedikit Analisis soal CV Kepelatihan Solskjaer
Sekilas melihat Wikipedia, karier kepelatihan Solksjaer terbilang minim karena hanya melatih Molde dua periode (2011-2014 dan 2015 sampai tahun ini karena Solskjaer hanya dipinjamkan oleh Molde ke United). Dia sempat melatih Cardiff City tahun 2014, tapi gagal total.
Banyak ketidakcocokan yang membuat karier Solksjaer dengan Cardiff tidak berjalan dengan baik. Tapi ketika melatih Molde, mantan klub profesional di awal kariernya sebagai pemain, di periode pertama Solksjaer mampu mempersembahkan dua titel Tippeligaen – divisi satu sepak bola Norwegia.

Itu pencapaian besar mengingat Molde tidak pernah menjuarai liga sebelumnya. Dukungan finansial dari manajemen juga membantu Solskjaer mengukir sejarah di Molde.
Ketika Molde juara dua tahun beruntun, tiga permainan mencolok dari filosofi sepak bola Solksjaer adalah: pressing (tekanan, menekan), counter-pressing (serangan balik kala merebut bola dari penguasaan lawan), dan serangan yang mengalir di berbagai arah dengan pengusasaan bola.
Filosofi itu tipikal sebenarnya dengan Man United-nya Ferguson. Permainan yang sederhana, hindari zonal marking (penjagaan zona) ketika bertahan dan melakukan pressing agar lawan tidak leluasa, lalu melakukan serangan balik ketika merebut bola dari lawan.
Dalam fase membangun serangan dari belakang, penguasaan bola juga penting dengan jarak di antara pemain yang tidak terlalu jauh. Contoh fase-fase bermain itu bisa dilihat melalui gambar berikut ini.
(silahkan tengok halaman berikutnya)

Pada contoh gambar di atas, bisa terlihat pressing sudah dilakukan di sepertiga garis pertahanan lawan. Striker jadi ‘bek pertama’ yang coba merebut bola, sementara lima pemain menutup garis operan pemegang bola hingga ia tak punya opsi lain selain memainkan bola lambung ke depan.
Sementara untuk gambar berikutnya, soal penguasaan bola, para pemain Molde sebisa mungkin mendekatkan diri mereka dengan rekan setim yang mengontrol bola agar bisa jadi opsi untuk dioper. Bola bisa dioper dan penguasaan bola akan terus berlanjut.

Terakhir, permainan counter-pressing atau serangan balik pasca menekan lawan sedianya hanya ‘kw’ dari gegenpressing Jurgen Klopp di Liverpool. Bisa terlihat hampir empat pemain mendekat untuk merebut bola dengan melakukannya. Jika bola sukses direbut, ada lima pemain Molde yang sudah memasuki area pertahanan lawan dan banyak opsi untuk mencetak gol.

Apakah permainan itu akan diterapkan Solskjaer di Man United? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Laga melawan Cardiff akhir pekan ini di Premier League barangkali menjawab pertanyaan itu.