Kisah Kontroversi, Tragedi Hingga Konspirasi Paling Kelam pada Piala Dunia
BolaSkor.com - Piala Dunia 2018 telah memasuki fase akhir. Prancis, Inggris, Belgia dan Kroasia akan saling sikut untuk memperebutkan dua tempat di final. Namun, tidak lengkap rasanya jika perhelatan Piala Dunia tidak dibumbui dengan kejadian kontroversial.
Sejauh ini, Piala Dunia bisa dibilang berjalan dengan baik. Adapun tersingkirnya Jerman, Spanyol, Argentina serta Brasil menjadi cerita menarik untuk dibahas hingga beberapa tahun ke depan.
Selain itu, video assistant referee atau yang beken disebut VAR, juga menjadi buah bibir pada edisi kali ini. Tidak jarang, keputusan yang diambil dengan bantuan VAR justru menjadi polemik baru.
Di atas semua itu, Piala Dunia memang selalu punya kisah lain pada setiap edisinya. BolaSkor.com akan menjabarkan lima di antaranya seperti di bawah ini:
Tragedi Andres Escobar (Piala Dunia 1994)

Di Kolombia pada era 80-an hingga 90-an penuh dengan kisah kriminal yang dimotori oleh raja obat terlarang, Pablo Escobar. Namun, pada cerita lain, Kolombia juga punya dirundung kejadian menyedihkan dengan pemain yang memiliki kesamaan nama dengan bos kartel tersebut.
Kisah pilu Andres Escobar bermula ketika sang pemain memperkuat Kolombia saat bersua Amerika Serikat pada fase gugur Piala Dunia 1994. Escobar secara tidak sengaja membelokkan bola yang akhirnya mengarah ke gawangnya sendiri. Aksi Escobar itu memberi keunggulan 2-1 kepada Amerika.
Lima hari berselang, Escobar ditembak orang tak dikenal di tempat parkir sebuah klub malam di Kolombia. Enam tembakan bersarang di tubuh Escobar. Menurut saksi kejadian, sang pembunuh meneriakkan kata gol setiap usai menembak.
Benang merahnya, kematian Andres Escobar pada 1994 hanya satu tahun setelah kematian Pablo Escobar.
Peristiwa kontroversi Gijon (Piala Dunia 1982)

Aljazair menjadi aktor utama pada peristiwa ini. Pada saat itu, wakil Afrika tersebut melakoni pertandingan terakhirnya pada fase grup sehari sebelum laga Jerman Barat kontra Austria.
Dengan begitu, Jerman Barat dan Austria sudah mengetahui hasil apa yang mereka butuhkan untuk lolos ke babak selanjutnya. Jerman Barat akan meraih empat poin bila memenangi pertandingan. Angka tersebut sama dengan yang diraih Jerman Barat dan Austria. Namun, duo Eropa itu lebih unggul dalam selisih gol.
Jerman Barat memimpin setelah 10 menit awal. Namun, usai gol tersebut kedua tim bermain tanpa keinginan untuk mencetak gol alias puas dengan hasil yang diraih.
Hasil tersebut membuat Aljazair harus tersingkir dan membuat semua pendukung marah sambil menyanyikan "fuera, fuera" (keluar, keluar) dari dalam stadion. Sejak saat itu, FIFA membuat peraturan di mana pertandingan terakhir pada fase grup harus dimainkan secara bersamaan.
Tuduhan Konspirasi FIFA (Piala Dunia 2002)

Jepang dan Korea Selatan menjadi tuan rumah pada Piala Dunia 2002. Saat itu, kedua tim dinilai sebagai underdog.
Dalam kisah dongeng sepak bola Korea Selatan yang berhasil mengalahkan Portugal, Italia dan Spanyol, terselip kabar konspirasi yang dilakukan FIFA.
Contohnya, pada pertandingan melawan Italia, Korea Selatan dianggap sangat terbantu oleh keputusan yang dibuat wasit asal Ekuador, Byron Moreno. Sang pengadil membatalkan gol Damiano Tommasi karena dinilai offside dan mengusir keluar Francesco Totti yang dianggap melakukan diving.
Cerita berlanjut ketika Korea Selatan menghadapi Spanyol pada babak perempat final. Pada pertandingan tersebut dua gol La Furia Roja dibatalkan. Padahal bila menilik tayangan ulang, tidak ada yang janggal dalam gol tersebut.
Sejumlah media menuduh FIFA sengaja mengatur hasil yang diraih Korea Selatan untuk menjaga tuan rumah tetap berada dalam turnamen.
Sebagai catatan kaki, setalah Piala Dunia 2002 wasit Byron Moreno harus menghabiskan harinya di balik jeruji besi akibat terlibat dalam perdagangan narkoba.
Penyebaran paham fasisme oleh Il Duce (Piala Dunia 1934)

Italia akhirnya dipilih sebagai penyelenggara Piala Dunia ke-2 pada 1934 setelah proses yang panjang di mana para petinggi FIFA bertemu hingga delapan kali. Pada saat itu, Benito Mussolini alias Il Duce disebut-sebut ingin menggunakan Piala Dunia untuk menyebarkan paham fasis.
Diktator Italia itu sangat ingin memenagi Piala Dunia. Bahkan, Mussolini dipercaya menunjuk sejumlah pejabat untuk "menyapa" wasit sebelum pertandingan.
Hasilnya, pada laga perempat final melawan Spanyol, para pemain Gli Azzuri seperti bebas melakukan tindakan tak sportif tanpa dihukum pelanggaran.
Dengan tidak adanya televisi pada masa itu, realitas pertandingan sebagian besar dibentuk oleh tokoh-tokoh media yang dikendalikan kelompok fasis. Walhasil, kejadian ini akan membuat orang percaya pada apa pun yang mereka inginkan.
Diego Maradona Gagal Tes Narkoba (Piala Dunia 1994)

Cinta dan benci selalu menyelimuti perjalanan karier Diego Maradona. Pada Piala Dunia 1994, sang legenda telah berusia 33 tahun dan memperkuat tim asal Argentina, Newell's Old Boys.
Meskipun nyaris tak pernah bermain pada musim 1993-1994, Maradona tetap menjadi kapten La Albiceleste pada Piala Dunia 1994. Namun, setelah mendulang satu gol dan satu assist pada dua pertandingan pertama, eks Napoli itu didepak dari skuat setelah dinyatakan menggunakan efedrin, sebuah stimulan yang dilarang oleh FIFA.
Dokter FIFA, Michel d'Hooghe, mengklaim menemukan lima jenis zat terlarang di darah Maradona. D'Hooghe meyakini hal itu disebabkan karena sang pemain menggunakan efedrin dalam jumlah yang besar.
Adapun efek dari penggunaan obat tersebut dalam jumlah besar adalah meningkatkan energi dan menurunkan berat badan.
Sebenarnya, kecurigaan bermula ketika berat Maradona turun 26 pounds sebelum Piala Dunia dimulai. Adapun selebrasi berlari ke arah kamera sambil berteriak pada laga kontra Yunani kian memperkuat dugaan Maradona di bawah kendali obat terlarang.