Sosok Feature Berita

Gantung Sepatu, Tim Cahill Tutup Generasi Emas Timnas Australia

Arief Hadi - Jumat, 23 November 2018

BolaSkor.com – Selasa, 20 November 2018, tetesan air mata yang tidak pernah dilihat dari sosok petarung, Tim (bukan Gary) Cahill, mengalir membasahi pipi di laga persahabatan antara timnas Australia melawan Lebanon di Stadion Australia, Sydney. Sambil berkaca-kaca, Cahill berkata.

“Saya benar-benar tidak tahan (menahan rasa haru) di sisi lapangan ketika fans meminta saya bermain. Saya sangat sulit menahan rasa emosional. Ini kali pertama saya menangis di lapangan pertandingan.”

“Saya bangga karena saya meninggalkan sepak bola (pensiun) di pencapaian tertinggi. Ini malam yang sangat hebat. Jersey ini berarti segalanya untuk saya. Saya selalu menempatkan negara di atas segalanya.”

Pada usia 38 tahun, Cahill pensiun dengan torehan 108 caps dan 50 gol, menjadikannya top skor sepanjang masa Australia. Sekedar informasi tambahan: Cahill bukanlah penyerang murni melainkan gelandang serang.

Empat Piala Dunia sudah diikutinya dengan Australia yang sudah dibelanya dari tahun 2004. Dari Piala Dunia 2006, 2010, 2014, dan 2018. Memilih salah satu dari Piala Dunia itu, tahun 2006 akan diingat sebagai pencapaian terbaik dari negeri yang ada di kawasan Osenia.

Australia menembus 16 besar dan kalah 0-1 dari Italia yang kemudian menjadi juara turnamen. Di tahun 2006, Cahill mencatatkan prestasi serba pertama; pemain pertama Australia yang mencetak gol di Piala Dunia dan pemain pertama Australia yang terpilih sebagai Man of the Match saat melawan Jepang di penyisihan grup.

Piala Dunia itu juga jadi penanda generasi emas Socceroos. Cahill berada di skuat yang juga berisikan Mark Schwarzer, Lucas Neill, Craig Moore, Brett Emerton, Mark Bresciano, Mark Viduka, dan Harry Kewell. Fans sejati Leeds United dan Liverpool pastilah tahu Kewell.

Tidak ada trofi prestisius yang diraih generasi emas itu, seperti halnya generasi emas Inggris dan Belgia, kendati demikian era mereka akan selalu ada dalam sejarah sepak bola. Tak lekang oleh waktu.

Pensiunnya Cahill menutup buku dalam episode generasi emas Australia. Generasi baru Australia dipimpin oleh Trent Sainsbury, kapten tim yang bermain di PSV Eindhoven. Cahill, secara khusus memberikan tongkat estafet suksesornya kepada Martin Boyle, pemain berdarah Skotlandia-Australia yang sekarang bermain di Hibernian.

“Saya tidak bisa meminta pemberian jersey yang lebih baik lagi – dia (Cahill) legenda. Dia sudah lama bermain dan melakukan segalanya. Kami semua berterima kasih atas apa yang dilakukannya,” ucap Boyle yang mencetak dua gol di laga melawan Lebanon dan terpilih sebagai Man of The Match.

Sepenggal Kisah Perjalanan Cahill

Pria kelahiran Sydney, 6 Desember 1979 tidak begitu saja masuk ke dalam skuat Australia. Cahill bertarung selama lima tahun sebelum membela Australia karena pernah bermain untuk timnas U-14 dan U-20 Samoa.

Kala itu FIFA masih memberlakukan aturan lama, bahwasanya pemain yang sudah pernah bermain dengan timnas lain tidak boleh berganti ke timnas lainnya. Cahill baru bisa membela Australia pada usia 24 tahun.

Cahill tidak sendirian berjuang masuk skuat Australia. Frank Farina, mantan pelatih timnas Australia, dua mantan komentator, Mike Cockerill dan Bonita Mersiades, yang sempat menjadi manajer tim, merupakan tiga figur yang berjasa besar mengantarkan Cahill ke panggung terbesar sepak bola dunia.

“Para pemain yang tidak ada di sini, manajer-manajer yang tidak ada di sini, mereka memainkan peran yang sangat besar (dalam karier Cahill),” tutur Cahill.

“Anda berbicara tentang Frank Farina, saya pikir Bonita juga terlibat ketika itu di FFA (Asosiasi Sepak Bola Australia), Mike Cockerill, banyak media di sini juga ada sepanjang perjalanan saya.”

Jonathan Howcroft, penulis Guardian, pernah menjabarkan permainan Cahill dengan kata-kata yang sederhana “Cahill bukanlah pemain paling bertalenta Australia, Cahill adalah definisi dari pemain di laga besar.”

Penggambaran soal Cahill itu tidak salah. Dia bukan pendribel bola yang bagus atau pemberi umpan yang akurat. Tapi, Cahill memiliki karakter atau jiwa petarung yang bersemayam dalam dirinya.

“Anda sebutkan laga apapun itu, saya selalu mendorong diri bermain mencapai batas (maksimal),” tutur Cahill. Kelebihan bermain yang paling diingat dari Cahill adalah kemampuan memenangi duel bola udara.

Tinggi badannya hanya 1,80 meter, tapi Cahill bisa melebihi loncatan pemain-pemain yang lebih tinggi. Di sini mungkin tipikal bermainnya itu seperti legenda Persija Jakarta, Bambang Pamungkas. Apa rahasianya, Cahill?

“Ini semua tentang latihan – bekerja dengan sangat intens di pusat kebugaran – tapi juga keinginan kuat. Mereka melakukan tes di pusat kebugaran untuk melihat seberapa tinggi Anda bisa melompat, tapi jika tidak ada bola dan tidak ada tujuannya, saya tidak meloncat tinggi.” Cahill bercerita kepada FourFourTwo.

“Saya cukup beruntung telah mencetak gol dengan tandukkan kepala sepanjang karier saya. Ini masih jadi kekuatan terkuat saya.”

Satu lagi trademark dari bapak empat anak itu adalah selebrasi gol ala petinju. Tiap kali mencetak gol, Cahill selalu mendekati tiang bendera sepak pojok dan meninjunya. Publik cukup penasaran, apa inspirasi Cahill melakukannya?

“Semua itu berawal dari selebrasi kung fu yang saya bantukan koreografinya dengan rekan setim di Australia, Archie Thompson, karena kami memainkan laga-laga itu di komputer,” tambah Cahill.

“Dia punya bayi cowok dan mencetak gol, saya pun demikian – selebrasi saya menjadi sedikit lebih menyenangkan dan sepertinya terus populer. Anak-anak menyukainya dan itu menyangkut di pikiran mereka, dan saya bangga dengannya.”

Dari Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Australia

Karier Cahill cukup bervariasi karena ia bak seorang pelancong yang bepergian dari Inggris, Amerika Serikat, Tiongkok, kembali ke Australia, balik lagi ke Inggris, dan kini berada di Asia dengan klub India, Jamshedpur.

Dua klub yang paling berkesan spesial baginya adalah Millwall dan Everton. Di kedua klub itu Cahill berstatus legenda dan memainkan lebih dari 200 pertandingan. ‘Darahnya’ biru ketika Everton bertemu rival sekotanya, Liverpool, dalam laga bertajuk Derby Merseyside.

Satu derby yang paling diingatnya terjadi 12 tahun silam. Everton menang 3-0 di Goodison Park atas Liverpool melalui dua gol Andrew “Andy” Johnson dan Cahill.

“Menang 3-0, dan Lee Carsley mencetak gol penentu kemenangan (gol dicetak oleh Johnson, tapi sepakan Carsley gagal diantisipasi baik oleh Pepe Reina) dan mengangkat saya ke atas!” ujar Cahill.

“Saya suka laga-laga derby dan passion untuk fans. Saya cukup beruntung mampu mencetak lima gol ke gawang Liverpool. Saya suka laga-laga besar,” tegasnya.

Memang, di laga seperti itulah Cahill ‘hidup’. Emosi yang diberikan fans, pertandingan sarat gengsi, mempertaruhkan harga diri, bak memberikan suntikan semangat kepada Cahill.

Selain Everton di periode 2004-2012, Cahill pernah membela Milwall dua periode (1998-2004 dan 2018), New York Red Bulls (2012-2015), Shanghai Shenhua (2015-16), Hanzhou Greentown (2016), Melbourne City (2016-17), dan Jamshedpur di tahun ini.

Bagikan

Baca Original Artikel