27 Tahun Berlalu dan PSSI Masih Seperti Dulu
BolaSkor.com - Tidak berlebihan rasanya apabila menyebut medali emas SEA Games 1991 sebagai prestasi terakhir Timnas Indonesia. Pasalnya, hingga saat ini Skuat Garuda memang belum meraih gelar bergengsi lainnya.
Setelah memenangi medali emas SEA Games 1991, prestasi terbaik Timnas Indonesia hanya lolos ke final. Catatan itu tercipta pada edisi 1997, 2011, dan 2013.
Pada ajang regional lain setingkat Piala AFF pun, nasib Timnas Indonesia setali tiga uang. Skuat Garuda berkali-kali melaju ke final, sebelum tumbang di partai puncak.
Artinya, pelatih asal Russia, Anatoli Fyodorich Polosin, merupakan sosok terakhir yang bisa memimpin Timnas Indonesia meraih prestasi. Setelah itu, prestasi Skuat Garuda seolah jalan di tempat.
Wajar rasanya jika warga Indonesia merindukan gelar juara. Memang, Timnas kelompok umur beberapa kali menunjukkan prestasi, tetapi beda tentunya jika dibandingkan dengan Timnas senior.
Piala AFF 2018 awalnya diramalkan bakal menjadi ajang tepat Timnas Indonesia menjadi juara. Berbagai faktor teknis dan non teknis mendukung Skuat Garuda menjadi juara.
Keberadaan pelatih asal Spanyol, Luis Milla, dianggap sebagai jawaban pencinta sepak bola Indonesia akan pelatih berkualitas. Penampilan Timnas Indonesia di Asian Games 2018 seolah membuktikan anggapan tersebut.
Selain itu, Thailand yang kerap menjadi saingan berat Timnas Indonesia tidak menurunkan skuat terbaik karena fokus Piala Asia 2019. Singapura juga tengah berada dalam periode menurun beberapa tahun terakhir.
Mestakung, semesta mendukung. Ya, seolah seluruh bintang-bintang di Galaksi Bima Sakti berjejeran menakdirkan Timnas Indonesia mampu memupus puasa gelar.
Sayangnya berbagai kendala justru menghampiri Timnas Indonesia menjelang Piala AFF 2018. PSSI gagal meyakinkan Luis Milla untuk memperpanjang kontrak dan menunjuk Bima Sakti sebagai ganti.
Dengan segala hormat kepada Bima Sakti, bukannya dia tidak pantas menangani Timnas Indonesia. Namun, dengan Piala AFF 2018 sudah di depan mata, bukankah alangkah baiknya PSSI berusaha lebih keras untuk mempertahankan Luis Milla?
Bima Sakti yang masih minim pengalaman melatih langsung dihadapkan dengan tiga uji coba internasional. Timnas Indonesia menghadapi Mauritius, Myanmar, dan Hong Kong.
Timnas Indonesia memang tidak tersentuh kekalahan pada tiga pertandingan tersebut. Namun, apakah hasilnya memuaskan? Tentunya banyak fans Skuat Garuda yang tidak setuju dengan anggapan tersebut.
Dibandingkan menghadapi tim-tim tersebut, bukankah sebaiknya PSSI menyiapkan kesebelasan yang lebih tangguh?
Pemusatan latihan Timnas Indonesia menjelang Piala AFF 2018 pun terasa sangat mepet. Evan Dimas dan kawan-kawan baru berlatih bersama pada 2 November 2018, atau enam hari menjelang turnamen bergulir.
Bisa ditebak hasilnya Timnas Indonesia harus tersingkir dini pada Piala AFF 2018. Skuat asuhan Bima Sakti dipastikan gugur dari ajang tersebut meski masih menyisakan satu pertandingan.
Sejatinya, masalah-masalah di atas bukanlah hal baru di dunia sepak bola Indonesia. Berbagai problematika tersebut memang sudah menjadi penyakit klasik PSSI yang tidak kunjung dibenahi.
Seharusnya, PSSI berkaca pada kegagalan timnas Spanyol pada Piala Dunia 2018. Tampil impresif selama fase kualifikasi, pergantian pelatih menjelang turnamen membuat Tim Matador babak belur.
27 tahun silam, Anatoli Polosin sempat mengomentari sejumlah hal yang perlu diperbaiki dari dunia sepak bola Indonesia. Termasuk di antaranya masalah fisik, pengalaman pemain, serta keyakinan memenangi pertandingan.
"Kalau memang ingin maju, para pemain Indonesia harus lebih sering bertemu tim-tim luar negeri. Selain itu, jangan berharap dengan persiapan singkat bisa punya kesebelasan hebat," kata Anatoli Polosin menjelang SEA Games 1991 berlangsung.
Apabila mengingat apa yang dikatakan oleh Anatoli Polosin 27 tahun silam itu, tentu bagai sebuah tamparan untuk segala lapisan sepak bola di Indonesia, terutama dan seharusnya PSSI.
Bagaimana tidak? Apa yang dikatakan Anatoli Polosin 27 tahun lalu tersebut nyatanya masih relevan untuk sepak bola Indonesia saat ini. Hampir tidak ada kata-kata Polosin yang bisa dibantah oleh PSSI.
Bukan rahasia apabila ketahanan fisik Timnas Indonesia tidak begitu bagus. Masih banyak pesepak bola Tanah Air yang hasil tes VO2Max-nya tidak sesuai rata-rata.
Selain itu, Timnas Indonesia sempat tidak menggelar uji coba internasional. Kondisi tersebut tentunya membuat pengalaman bertanding para pemain menghadapi tim dari luar negeri berkurang.
Soal mentalitas tidak perlu ditanya lagi. Beberapa kali Timnas Indonesia terlihat bermain tanpa arah setelah tertinggal lebih dulu dari lawannya.
Ketiga masalah di atas tentunya menjadi tanggung jawab penuh PSSI selaku induk tertinggi sepak bola di Indonesia. Ketiganya tercipta karena PSSI tidak menganggap serius pembinaan usia dini.
Sebagai contoh, Jepang memiliki kompetisi berjenjang hingga usia di bawah 10 tahun. Bandingkan dengan PSSI yang baru mengumpulkan pemain mulai U-17.
Selain itu, klub juga hanya memiliki tim U-19, itu pun baru diterapkan musim ini. Sebelumnya, klub Indonesia hanya punya tim senior dan U-21.
Satu lagi masalah Timnas Indonesia adalah persiapan yang terlalu mepet. Dengan skuat yang kerap bongkar pasang pemain, persiapan singkat tentunya tidak ideal untuk Skuat Merah Putih.
Sejatinya, persiapan Timnas Indonesia tidak akan terganggu andai kompetisi berjalan dengan lancar. Lihat saja, Liga 1 2018 tetap berjalan meski Piala AFF 2018 berlangsung.
Bandingkan dengan Thailand atau Malaysia yang liganya sudah berhenti sebelum Piala AFF 2018. Terbukti, timnas mereka lebih siap dalam menghadapi turnamen dua tahunan tersebut.
Berbagai fakta di atas tentunya membuktikan, 27 tahun puasa gelar dan PSSI belum juga kunjung belajar. Timnas Indonesia pun menjadi korban dari kebiasaan buruk PSSI tersebut.
Ketika negara-negara lain di Asia Tenggara mulai maju selangkah demi selangkah, Timnas Indonesia seolah masih jalan di tempat. Bukan salah pemain atau pelatih, tetapi PSSI.
Sejatinya, belum terlambat bagi PSSI untuk melangkah maju. Toh, bukan rahasia jika Indonesia dianugerahi segudang pesepak bola berbakat, tinggal bagaimana mengolahnya.
Seperti yang pernah dikatakan Anatoli Polosin 27 tahun silam, masalah di sepak bola Indonesia bukanlah pemainnya. Namun, berbagai hal di balik layar yang harus dibenahi.
"Juara itu sulit ditemukan. Namun, pemain sepak bola bagus bisa diciptakan," demikian ucapan pria yang meninggal dunia pada 11 September 1997 kala itu.
Berbagai contoh bisa diambil oleh PSSI untuk memajukan sepak bola Indonesia. Termasuk di antaranya kebijakan DFB (Asosiasi Sepak Bola Jerman) dan FA (Asosiasi Sepak Bola Inggris).
Kegagalan pada Piala Dunia 2002 membuat DFB membuat kurikulum sepak bola untuk pemain muda. Hasilnya, sejak Piala Dunia 2006, timnas Jerman hampir selalu masuk semifinal turnamen bergengsi, bahkan menjadi juara Piala Dunia 2014.
Setali tiga uang dengan FA yang menyoroti pengembangan pemain muda di Inggris. Beberapa kali timnas Inggris kelompok umur berhasil menjadi juara dunia, bahkan tim seniornya lolos ke semifinal Piala Dunia untuk kali pertama sejak 1990 pada 2018.
Andai mengikuti jejak dua negara juara itu, bukan tidak mungkin mimpi melihat Timnas Indonesia tampil di Piala Dunia bakal terwujud. Toh, Indonesia merupakan gudangnya bakat mentah sepak bola.
Di Indonesia, sepak bola bagaikan agama kedua. Berbagai lapisan kalangan menggemari olahraga yang kerap dianggap sebagai pemersatu bangsa tersebut.
Jadi, PSSI tidak perlu beralasan ini itu atau mengkambing hitamkan pelatih dan pemain. Sudah waktunya PSSI mawas diri dan belajar dari kesalahan masa lalu.
Kegagalan pada Piala AFF 2018 bisa menjadi tamparan sekaligus pembelajaran untuk PSSI. Cukup 27 tahun ini Timnas Indonesia gagal berprestasi. Tentu saja seluruh pencinta sepak bola Indonesia tidak mau menunggu 27 tahun lagi untuk mengakhiri puasa gelar bukan?